Chapter 15

23.8K 3.2K 770
                                    

Semua yang Jihwan rasakan hanyalah tentang nyeri. Ia masih sadar saat Jungkook membopong tubuhnya menuju kamar lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang―menyebabkan darah yang menetes deras dari pahanya langsung merembes pada sprai. Bahkan maniknya masih mampu menangkap kesibukan Jungkook, tergesa membuka laci lemari untuk menarik kotak P3K keluar lalu melompat menuju ranjang.

Jungkook duduk di atas sana, kebingungan dan juga gemetaran saat hendak menyentuh luka itu lagi. Ia tatap Jihwan yang kini masih meringis dengan mata memejam rapat, lalu perlahan memutuskan untuk mengobati dengan hati-hati. Mengingat berapa kali ia telah menyakiti, sampai membuat tubuh istrinya berdarah.

"Tahan," ucapnya, membuat Jihwan tersentak saat merasakan luka pada pahanya ditekan begitu dalam dengan menggunakan perban.

"S―sakit." Kelopaknya mengatup paksa saat Jungkook terus menekan lukanya dan tak dapat dipungkiri pula bahwa saat ini pria itu turut merasakan perihnya, entah kenapa. Sepasang alisnya yang saling bertautan di pangkal hidung sedikit banyak telah menunjukkan rasa khawatir serta takutnya.

Jemari perempuan itu langsung meremat sprai dengan erat hingga buku jarinya turut memutih. Kelopak mata indahnya mengatup rapat merasakan ngilu luar biasa telah menjalari kaki kirinya. Sakit yang sungguh tak mampu ia tahan hingga dirinya menangis deras, mengeluh bahwa dirinya kesakitan bahkan refleks menggigit bibir dengan tertahan.

Cukup lama Jungkook menekan luka yang ia ciptakan beberapa saat lalu dan perlahan ia mulai membalutnya hati-hati. Ia menilik ke arah Jihwan. Menyaksikan bahwa perempuan itu telah terlelap karena rasa sakit yang dideritanya, meninggalkan jejak air mata yang mulai mengering tepat dikedua belah pipi.

Usai dirinya telah menyimpan kembali kotak P3K ke dalam laci nakas, tungkainya melangkah gamang untuk mendekat pada ranjang. Punggungnya setengah membungkuk―memperhatikan paras sepi istrinya yang tengah terlelap. Saat tangan kanannya hampir memeluk sisi wajah cantik itu, tiba-tiba saja ia dirundung rasa bersalah tak terkira tatkala menemukan noda darah telah memenuhi telapak tangannya yang gemetaran.

Jungkook masih memandangi noda darah di tangannya―meneguk ludah susah payah sebelum akhirnya menyeka sisa likuid di wajah Jihwan dengan punggung jari telunjuknya, "Aku juga lelah, Ji. Lelah atas semua yang kulakukan."

Pelupuknya mengembun; lembap. "Aku juga ingin menjadi pria yang sempurna. Tapi kebahagiaan itu―harusnya bukan milikmu, kau menghancurkan semuanya."

Rahangnya bergetar, bibirnya turut pula mengikuti―hingga perlahan lelehan hangat air matanya membasahi belah pipi, "Aku mencintaimu, Ji. Sungguh. Kau melukaiku, orang-orang selalu melukaiku, menghinaku, menyalahkanku," lirihnya pilu. Maniknya bergulir ke sekeliling, memejam sakit. "Mereka meninggalkanku, mereka mengataiku iblis kecil―lalu bagaimana menurutmu aku bisa hidup?"

"Aku sudah mati sejak lama," ungkapnya lagi.

"Aku ingin melawan dunia, tapi untuk apa? Tidak ada yang ingin kuperjuangkan. Aku selalu sendiri. Tuhan mengurungku dalam neraka. Kau tahu―aku sangat ingin membunuhnya, tapi aku bisa apa? Aku mencintainya, menyayanginya."

"Tolong aku, Shin Jihwan. Aku ingin hidup."

....

Kurang lebih sejam lamanya Jungkook mengurung diri di dalam kamar mandi dan hanya mampu meratapi telapak tangannya yang penuh dengan noda darah. Ia menangis di sana, mengutuk dirinya sendiri tanpa ampun―merasakan sesak menguasai pernapasannya, berakhir jatuh terduduk di atas lantai kamar mandi lalu mengerang kesal.

Punggungnya menghantam dinding, netranya tak luput memandangi tangan yang senantiasa gemetaran. Namun beberapa saat setelahnya, ia bangkit dengan gurat begitu kacau―membasuh tangannya di wastafel lalu menatap pantulan wajahnya pada cermin. Sejenak ia memejam lalu membasahi wajahnya dengan air.

LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang