~ Gue bakal selalu ada di belakang lo. Dan gue bakal selalu dukung lo kok. Jadi, jangan ngerasa sendiri lagi ya (?) ~
-Alika Aurelia Vinasari
---
Hari ini adalah, hari Senin. Hari yang menjadi permulaan, dan pastinya permulaan untuk hari sekolah.
Mujahid dan juga Ratu masuk ke dalam kelas mereka, karena upacara telah selesai.
Sebuah senyum terukir dengan indah di wajah seseorang, yang tak lain adalah Alika.
"Pagi, Hid," Alika menyapa Mujahid dengan riang. Dan Mujahid juga tersenyum.
"Pagi," Mujahid membalas sapaan Alika dengan singkat.
Ratu menganga tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang.
"Dasar enggak adil," gerutu Ratu dengan kesal, "gue selalu nyapa dia kalau pagi, tapi enggak pernah dibales. Nah, giliran Alika, malah dibales."
Bukan karena tanpa sebab Ratu kesal. Bayangkan jika setiap hari kau menyapa orang itu, tapi enggak dibalas. Giliran orang lain, malah dibalas. Kan kesalnya bukan main.
"Tapi, ya sudahlah. Gue pasrah aja," Ratu menghembuskan nafas.
Ratu memutar kepalanya ke arah belakang. Ia melihat sebuah kejadian yang benar-benar langka. Ia melihat Mujahid sedang berbicara dengan Alika.
"Oh, gitu," Mujahid mengangguk-nganggukkan kepala.
"Gue bingung juga nih. Gue pengen banget jadi anggota OSIS. Tapi, masalahnya gue takut kalau prestasi gue menurun," ucap Alika.
"Ya itu kan resikonya. Semua keputusan itu ada resikonya. Jadi, kalau mau ambil masuk OSIS lo harus perjuangin agar prestasi lo tetap meningkat," Mujahid mulai menjadi sok bijak.
"Ya ellah. Ngomong emang gampang, tapi wujutinnya susah tau," Alika mengerucutkan bibirnya.
Melihat ekspresi Alika seperti itu, membuat Mujahid gemas terhadap Alika.
"Yaudah, jangan masuk," itu saja kata yang keluar dari mulut Mujahid.
"Tapi kan—"
Alika tak sempat melanjutkan kata-katanya karena Bu Baya sudah masuk. Mujahid pun segera kembali ke tempatnya.
Ratu yang melihat Mujahid sudah kembali, melirik ke arah samping.
"Asik bener lo tadi bicaranya. Emang lagi bicarain apa sih?" tanya Ratu.
Mujahid pun membuka mulutnya, "kepo lo.
Dua kata itu berhasil membuat Ratu menjadi badmood. Ratu pun melihat ke arah paling depan.
Tepatnya, tempat yang sedang diduduki oleh Dhesa. Dan kelihatannya dia sedang sedikit muram. Ya, itulah yang dilihat oleh Ratu.
Kalau emang salah jangan menyalahkan Ratu. Karena memang Ratu agak sedikit rabun.
~:::~:::~
Saat istirahat, Mujahid langsung keluar dari kelas tanpa memasukkan bukunya ke dalam tas. Ratu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Dasar, bisanya bikin repot aja!" seru Ratu dengan kesal.
"Napa sih lo, teriak-teriak enggak jelas?" gerutu seseorang.
Orang itu berkacak pinggang, dia adalah Dhesa.
Ratu menjadi gelagapan, "hehehe, enggak pa-pa ko, Dhes. Gue cuman lagi frustasi aja."
"Frustasi ya?" Dhesa melipat kedua tangannya. Ratu hanya menganggukkan kepala.
"Mujahid!" ada seorang siswi yang sedang meneriaki nama Mujahid.
Siswi itu celingak-celinguk, mencari Mujahid tapi tak ia dapatkan keberadaan Mujahid di sana.
Siswi itu melihat tepat ke arah Ratu, lalu mendekat Ratu.
"Mujahid mana?" tanya siswi itu dengan wajah angkuh.
"Mana gue tau. Emang gue emaknya!" jawab Ratu dengan ketus.
"Yaudah, kalau enggak tau. Enggak usah pakai teriak segala," siswi itu mengibaskan rambutnya lalu pergi.
Dhesa menjadi bingung, "dia siapa?"
"Namanya Sakira, dia itu cewek ganjen yang selalu mau deketin si Mujahid."
Dhesa mengangguk-nganggukkan kepalanya.
"Eh, iya. Lo kenapa enggak keluar?" Ratu menyadari bahwa daritadi Dhesa belum keluar dari kelas.
"Ya, gue malas aja keluar. Ketemu sama abang gue. Maunya gue mau lakban mulutnya. Supaya mulutnya itu bisa diem," mendengar gerutu dari Dhesa membuat Ratu tertawa.
"Enggak enak banget ya. Tiap hari diperhatiin sama Devin?" Satu alis dari Ratu naik ke atas.
Bibir Dhesa maju ke depan "enggak enak banget. Tiap hari diintai, kayak buronan aja."
"Wajar aja sih, abang lo perhatiin gerak-gerik lo. Kan lo adeknya, jadi wajar dia sebagai abang merhatiin lo terus," Ratu berkata-kata bijak.
"Tapi, enggak terlalu ketat juga kan?" Dhesa masih tetap menggerutu.
"Ya, berarti dia sayang sama lo," hanya itu kata-kata terakhir dari Ratu. Ia pun keluar dari kelas.
Saat melihat Ratu yang sudah keluar. Dhesa kembali duduk di tempatnya.
"Andai aja semuanya bisa diulang," Dhesa bergumam kecil.
~:::~:::~
Alika tengah duduk di taman sekolah. Memandangi bunga-bunga yang mempunyai banyak warna membuatnya sangat senang.
"Ngapain?" Mujahid duduk di sebelah Alika.
"Duduk aja," Alika tidak melihat ke arah Mujahid.
"Enggak gabung?" Alika menggeleng pelan.
"Lagi pengen menyendiri dulu," Alika masih setia memandangi bunga-bunga itu.
"Oh," Mujahid mengangguk-anggukkan kepala.
Terjadi keheningan yang cukup lama. Alika lebih menyibukkan diri dengan memandangi bunga. Dan itu membuat Mujahid bingung.
"Emang lihat bunga itu lebih bagus ya daripada lihat muka gue?" Mujahid menaikkan satu alisnya.
Pertanyaan yang diucapkan oleh Mujahid membuat Alika membalikkan wajah ke arah Mujahid.
Alika menjadi agak canggung, "maaf ya," Alika menundukkan kepalanya.
"Udah jangan gitu," Mujahid mengangkat wajah Alika,
Mereka terus bercakap-cakap tanpa menyadari bahwa seseorang telah melihat mereka.
~:::~:::~
Bersambung lagi..
Oke guys vote dan komen.Nah sesuai janji aku, konflik udah mulai dari part ini. Tapi, konfliknya masih ala-ala remaja kok.
S E E Y O U
😊😊😊😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories
Teen Fiction(Sequel dari Mysterious Girl) Cover by : svegetables Kepergiannya membuka luka, dan membawa sebuah perubahan pada seseorang. Hari-hari serasa sunyi tanpa suaranya. Duka itu masih tersimpan dalam hati banyak orang. Dan datanglah seseorang, seseorang...