10*

262K 19.5K 1.6K
                                    

Langit senja sore ini jadi saksi sejarah baru seorang Lavina hanya diam di boncengan Arsenio. Memegang kaku tas di punggung kekasihnya. Sejak dia mendengarkan hal yang tak ingin dia dengar, bibir Lavina seolah kelu. Bahkan sepanjang hari dia tak bisa konsentrasi. Ini yang selalu Lavina takutkan. Kehilangan konsentrasi karena patah hati.

Padahal Lavina sudah berniat akan mundur setelah dia lulus dan diterima di salah satu kampus pilihannya. Tapi ternyata takdir mempercepat dia mengetahui segalanya. Sementara Lavina belum punya cara menghadapi kebenaran lain yang menyakitkan.

Jika biasanya Lavina akan menahan Arsenio dengan segala cara agar Arsenio bisa lebih lama di rumahnya. Tidak dengan sekarang. Tanpa mengucapkan apapun Lavina langsung masuk ke dalam rumah. Pikiran dan raga sedang tak jadi satu.

"Lav..." panggil Arsenio.

"Lav..." panggil Arsenio lagi. Kali ini tangannya meraih tangan Lavina.

"Kamu kenapa?" tanya Arsenio.

"Nggak kenapa-kenapa."

"Yakin?"

"Iya."

"Kenapa nggak mau cerita?" tanya Arsenio.

"Cerita apa?" tanya balik Lavina, mendongak menatap Arsenio tapi Arsenio langsung menoleh ke kanan, menghindari tatapan Lavina.

"Kamu kenapa?" tanya Arsenio tanpa melihat Lavina.

"Kamu nggak sayang aku. Kamu kepaksa kan pacaran sama aku? Kenapa tadi nggak kamu jawab pertanyaan Hasta?"

"Pertanyaan yang mana?"

"Yang kamu ditanya tertekan nggak pacaran sama aku."

"Oh. Aku jawab enggak."

"Tapi?"

"Nggak pakai tapi."

"Yakin?"

Arsenio mengusap puncak kepala Lavina. "Aku pulang ya. Jangan dipikirin omongan Hasta."

"Jawab dulu. Yakin enggak pakai tapi?"

"Yakin."

"Bukan karena males berdebat sama aku kan?"

"Lav, I want you to be happy. That's all I need."

Lavina mengangguk. "Hati-hati baliknya. Makasih udah nganterin."

Seperti robot Lavina masuk ke dalam rumah. Melempar tasnya asal ke atas kasur dan merebahkan badannya yang masih berseragam lengkap. Hari ini terasa lebih melelahkan. Meski kata-kata Arsenio begitu manis tapi penangkapan Lavina berbeda. Baginya Arsenio hanya malas berdebat jadi tak perlu direpotkan oleh sikapnya.

Tapi Lavina belum siap untuk putus. Dia masih membutuhkan Arsenio di dekatnya sampai lulus SMA. Tapi bagaimana cara mengenyahkan memori tadi pagi? Penjalasan apapun tak bisa mengubah jalan pikiran Lavina saat ini. Diamnya Arsenio atas pertanyaan Hasta membuatnya tetap berpikir macam-macam. Lavina menyesal telah mengikuti Arsenio. Dia takut pada lara ketika dia akhirnya sendiri. Kenyataan Arsenio terbebani dengan keberadaannya sudah membuatnya lara. Apalagi jika dia harus memilih menyerah. Lavina bertahan selama ini demi Arsenio masih ada dalam jangkauannya.

Lavina bangkit membuka notebooknya yang bergambar bunga aster dengan background warna pink. Dengan menulis dia bisa melampiaskan perasaannya hingga bebannya berkurang.

Teruntuk hati.
Bertahanlah sedikit lagi meski lara terus menghampiri.
Ingat, kamu pernah bahagia.
Ingat, kamu masih bahagia.
Jangan hanya karena dia tak mencintaimu lagi lalu kamu berkecil hati.
Teruntuk hati.
Baik-baiklah kamu menjaga diri.
Aku hanyalah si Keras kepala.
Maaf kamu menjadi korban keegoisanku.
Sabarlah sebentar lagi.
Hingga aku mampu berdiri sendiri.
Maaf untuk perasaanku yang salah.
Tiba saatnya nanti aku lelah.
Tetaplah kuat.
Karena hanya kamu yang aku miliki.
Ketulusan akan sebuah perasaan bernama sayang.

Lavina [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang