18*

227K 19.4K 1.5K
                                    

Dari pada pulang ke rumah berakhir dengan menangis lagi di kamar. Lavina pun mengikuti ajakan Erlan yang ternyata ke lapangan basket. Di tempat biasanya Erlan menghabiskan sore bermain basket dengan teman-temannya, di komplek perumahan Erlan. Lapangan basket yang cukup besar berdampingan dengan lapangan tenis. Butuh beberapa menit dari sekolah menuju ke sana.

"Kok kita ke sini?"

"Ayo, turun. Gue jamin lo bakal happy."

"Panas tahu."

"Ini udah sore, Lav. Nggak terlalu panas kok. Ayo! Apa perlu gue bukain pintu?"

Lavina mengangguk cepat lalu tertawa sembari membuka pintu mobil sendiri. "Gue cuma bercanda. Gue bisa buka pintu sendiri."

"Siapa tahu lo mau gue bukain pintu biar berasa pergi sama pacar."

"Hish... Jangan ingetin gue sama Arsen, lo nggak perlu bukain pintu buat gue."

Meskipun Arsen cuek, tapi Arsenio selalu melakukan hal-hal yang kadang tak terduga. Lavina baru menyadarinya, Arsenio selalu membukakan pintu dan sering memasangkan seatbelt untuknya. Lavina mendesah, mengingatnya. Membuat dadanya semakin sesak dan sulit bernapas. Lavina menyeret kakinya mengikuti Erlan yang membawa bola basket menuju lapangan.

"Gue nonton lo main aja deh," ucap Lavina lalu duduk di tepi lapangan, meluruskan kakinya.

"Mana seru kalau gue main sendiri. Lagian kalau lo cuma nonton gue nanti lo naksir gue."

"Idih kepedean."

"Ayolah, come on." Erlan menarik tangan Lavina, membantu Lavina berdiri, dan menyerahkan bola basketnya.

"Ok, kalau lo kalah wajib traktir gue. Dan lo wajib ngalah."

"Wah, wah... belum apa-apa udah gitu. Kenapa gue wajib ngalah?" tanya Erlan.

"Lo nggak kasihan gitu sama orang yang baru patah hati putus cinta? Ya, ya, ya?" Lavina memasang wajah memelas yang super cute sampai Erlan salah tingkah.

"Iya, ya udah terserah lo deh. Buruan masukkin bolanya." Erlan mundur menghindari tatapan cute Lavina.

Hampir satu jam mereka bermain basket dan pertandingan dimenangkan Lavina. Tentu saja Lavina pemenangnya karena dia mengancam Erlan berkali-kali untuk mengalah atau dia akan menangis kencang di lapangan dan orang-orang akan menuduh Erlanlah penyebabnya.

"Gue menang!" seru Lavina keras.

"Iye, serah lo dah," balas Erlan yang duduk di samping Lavina. Mereka duduk di pinggir lapangan dengan napas memburu setelah merebutkan bola orange.

"Traktir gue!"

"Iya. Lo mau gue traktir apa?"

"Apa ya?" tanya balik Lavina.

"Cokelat?"

"Valentine udah lewat," jawab Lavina, cemberut mengingat valentinenya kemarin hampa.

"Emang lo mau gue kasih cokelat valentine?"

"Mau! Gue nggak pernah dapat cokelat valentine. Valentine kemarin gue gatot gara-gara misi Pluto."

"Kasihan. Besok gue kasih. Lo mau cokelat apa?" Erlan mengusap kepala Lavina tapi Lavina menepisnya.

"Jangan usap kepala gue." Lavina jadi teringat Arsenio setiap kepalanya dielus. Dia mau move on.

"Sorry," ucap Erlan.

"Gue mau cokelat jago."

"Cokelat jajan zaman dulu itu? Emang masih ada?"

"Masih."

Lavina [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang