Dua hari berlalu, dua hari pula ponsel Lavina bersih dari nama One Heart. Itu artinya tak ada pesan atau telpon dari Arsenio. Sepertinya pilihannya salah, harusnya dia mempertahankan prinsipnya yaitu jangan menjauh untuk dikejar tapi kerjalah yang kau inginkan. Kini Lavina sedikit menyesal. Tapi dia tak tahu harus memulai dari mana untuk menyapa Arsenio lagi.
Senin datang setelah libur panjang. Lavina berharap bisa melihat Arsenio setelah dua hari tanpa komunikasi. Dia datang ke sekolah lebih pagi dengan wajah ceria seperti biasanya. Menyapa teman yang dia kenal, memilih menaiki tangga dibanding menggunakan lift. Dia sedang tak ingin berdesak-desakan. Perasaannya sudah penuh sesak hingga sulit bernapas.
Tapi baru naik satu lantai napasnya sudah tersengal. Lavina tak lagi meneruskan naik tangga. Dia berjalan menuju lift, berdiri menunggu pintu lift tebuka. Tepat saat pintu terbuka, matanya menangkap sosok Arsenio dengan jaket hitam dan headset yang terpasang di telinga. Tatapan mereka bertemu tapi Lavina segera memutuskannya. Dia masuk, berdiri tepat di sebelah Arsenio.
Hanya berdiri bersebelahan saja hatinya sudah berdebar tak keruan. Lavina senang bukan main akhirnya bisa melihat wajah Arsenio lagi. Misi Pluto membuatnya rindu berat. Dia juga penasaran ingin bertanya tentang keberadaan Arsenio di Kota Tua.
Lavina menunduk, gelisah di tempatnya. Ingin menyapa tapi Arsenio mengenakan headset jadi bisa dipastikan tak akan mendengarnya meski ia teriak. Sesekali Lavina melirik Arsenio, melihat tangan Arsenio yang mengenakan gelang pemberiannya. Lavina tak berani mengangkat wajah lalu tatapan mereka bertemu. Dia bisa salah tingkah sendiri.
"Lav..."
Lavina menoleh ke belakang saat namanya dipanggil. Rangga memanggilnya, Rangga?
"Lo manggil gue?"
Jempol Rangga menunjuk cowok di sebelahnya, Erlan.
"Oh, kenapa, Lan?"
Belum sempat mendengar jawaban Erlan, tangannya sudah ditarik Arsenio keluar lift.
"Eh..."
"Nanti kamu kedesak yang lain. Lanjutin ngobrolnya di kelas."
"Kamu marah ya?" tanya Lavina, dengan kepala terpaksa mendongak karena Arsenio terlalu tinggi untuknya yang petit. Lavina menarik earphone Arsenio.
"Marah kenapa?"
"Nggak aku hubungi 2 hari."
"Enggak."
"Kok enggak?"
"Aku tahu kamu sibuk belajar."
"Aku nggak sibuk belajar." Lavina berbohong, weekend ini dia memang menyibukkan diri dengan belajar dan memendam rasa penasaran tentang keberadaan Arsenio di Kota Tua.
"Lalu?"
Ingin sekali Lavina membalas bahwa dia sibuk memikirkan Arsenio. Tapi Lavina memilih bungkam. Lagipula dari mana Arsenio tahu dia sibuk belajar sementara Arsenio tak pernah bertanya dia sedang apa.
Lavina mendesah, putus asa. Apalagi dia selalu teringat kejadian di Kota Tua. Tapi Arsenio sama sekali tak membahasnya.
"Belajar yang rajin. Belajar itu buat kamu. Nikmati aja prosesnya, nggak enak di awal tapi hasilnya bakal bikin kamu bangga sama diri kamu sendri," ucap Arsenio sembari mengusap kepala Lavina.
"Iya."
"Aku seneng akhirnya kamu sudah punya pilihan."
"Pilihan?" Ulang Lavina.
"Iya aku seneng akhirnya kamu mau bantu papamu di rumah sakit. Manajemen pilihan yang bagus. Kalau kesulitan belajar bilang aku."
Lavina bengong, Arsenio bicara cukup panjang tapi justru membuatnya kesal. Kenapa selau bicara panjang saat membahas sekolah? Akhirnya Lavina nyengir lalu menunduk meninggalkan Arsenio di belakang. Dia sedang tak punya banyak energi untuk menghadapi keanehan pacarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavina [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]
Teen FictionLavina Asha dan Arsenio Abrisam adalah pasangan kekasih di SMA Nusa Cendekia. Arsenio yang cool terkesan cuek sering membuat Lavina bertanya-tanya apakah hanya dia yang memiliki perasaan cinta, apakah Arsenio jenuh atau menyesal menjadi kekasihnya...