Lavina tak bisa tidur semalaman sejak makan malam bersama keluarga Arsenio. Sehingga pagi ini dia terlambat bangun. Dia berlarian di lorong menuju tangga. Dia yakin lift di jam mendekati bel masuk pastilah ramai. Sampai depan tangga dia heran melihat tangga pun ramai padahal bel masuk tinggal lima menit lagi.
Butuh perjuangan keras hingga sampai di lantai dua. Bagi orang lain mungkin mudah tapi tidak bagi Lavina yang tak menyukai olahraga. Bel berbunyi sebelum Lavina sampai di kelas. Tapi Lavina sudah kehabisan napas menaiki dua tangga dengan setengah berlari.
Lavina membungkuk memegang kedua lututnya, mengatur napas. Pagi yang sial! Karena terlambat bangun Lavina melewatkan beberapa ritual paginya. Bahkan rambutnya saat ini berantakan karena tak sempat dia kuncir.
Sampai di kelas dia heran, kelasnya sepi. Hanya ada beberapa murid yang memakai seragam olahraga. Lavina menepuk keningnya. Dia lupa jam pertama olahraga dan dia tak membawa seragam olahraga. Ingin rasanya dia menangis kencang saat ini.
Haruskah dia menghubungi Arsenio seperti biasanya saat dia lupa membawa seragam olahraga? Lavina menimang hal itu. Tapi kemudian dia menggeleng. Lebih baik dia pura-pura sakit jadi tak perlu olahraga. Lagi pula Arsenio pasti tak membawakan seragam olahraganya seperti dulu, mereka sudah putus, pikir Lavina.
Lavina merasa kehilangan kebiasaan. Dia baru menyadari Arseniolah yang sering membawakan seragam olahraganya meski mereka tak berangkat bersama. Setiap hari Kamis Arsenio selalu mampir ke rumahnya sebelum ke sekolah, memastikan dia tak lupa membawa seragam olahraganya. Kalaupun dia sudah berangkat lebih dulu maka Arsenio yang akan membawakannya. Lavina menunduk lesu.
"Buruan Lav, ganti baju. Yang lain udah di bawah," seru Bani, ketua kelas Lavina.
"Gue izinin ya? Mau ke UKS pusing."
"Lo masih sakit? Perasaan kemarin lo udah seger buger."
"Udah deh, izinin aja. Nih gue pucet kan? Napas gue juga nggak beraturan."
"Yaiyalah. Lo habis lari takut telat. Iya kan? Ngaku lo?"
"Sealan lo Bani!"
"Tuh ada titipan dari Arsen di meja lo."
"Apaan?"
"Tau, lihat sendiri aja. Kayaknya sih seragam olahraga lo."
"Serius?" Mata Lavina berbinar cerah. Lavina langsung lari ke mejanya.
"Katanya putus. Tapi kok Arsen masih aja mau bawain seragam olahraga lo?"
Lavina menaikkan bahunya. Dia tak mau memikirkan hal lain dulu. Dia harus buru-buru mengganti seragam agar tak kena hukuman. Soal Arsen pikirkan nanti. Kalau bisa.
Lavina segera bergabung dengan yang lain setelah mengganti seragamnya. Dia mengeluh panjang ketika Pak Subur mengatakan bahwa olahraga pagi ini lari memutari lapangan sepak bola dua kali putaran. Dia baru saja lari naik dua lantai sekarang harus lari memutari lapangan sepak bola dua kali. Lavina membayangkannya saja sudah ingin pingsan.
"Pak, Lav satu kali aja ya? Lav udah olahraga tadi pagi lari lewat tangga dari lantai satu ke lantai dua."
"Bagus kalau gitu. Jadi sudah pemanasan."
"Yah, Pak. Jangan dua kali Lav bisa pingsan."
"Pingsan ada Bani tuh siap gendong. Iya kan Bani?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavina [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]
Teen FictionLavina Asha dan Arsenio Abrisam adalah pasangan kekasih di SMA Nusa Cendekia. Arsenio yang cool terkesan cuek sering membuat Lavina bertanya-tanya apakah hanya dia yang memiliki perasaan cinta, apakah Arsenio jenuh atau menyesal menjadi kekasihnya...