3. Ambiguous

840 101 10
                                    

Vote dulu, gaes…

Mentari pagi bersinar di langit biru Seoul untuk menemani umat manusia menjalankan aktivitas mereka yang padat.

Hari ini, aku baru saja memulihkan kontak di ponselku, kontak Mark yang rupanya di blokir oleh benda kesayanganku ini. Seingatku, aku tidak pernah melakukan hal biadab tersebut, jadi dapat kusimpulkan pelakunya adalah sosok menyebalkan itu. Pasti! Ia bahkan mengakuinya lewat pesan tadi pagi padaku, mungkin makhluk albino itu sudah sinting.

"Kau bilang tadi masih di jalan, Mark" ujarku sembari masuk ke mobilnya dengan sedikit tergesa, mataku sibuk meneliti tas kerja yang penuh akan lembaran-lembaran.

"Seatbelt mu" tuturnya pelan namun gerakannya begitu cekatan. Sosok tersebut mencondongkan dirinya kearahku yang masih sibuk, ia lalu memasangkannya. Anehnya, setelah terdengar bunyi 'klik', posisinya tak kunjung berubah membuatku mulai risih dan terpaksa mengalihkan atensiku padanya, pada sosok yang…

B-U-K-A-N Mark!

"Sebegitu dekatnya kah hubunganmu dengan Mark sekarang?" gumaman pelan itu menusuk telingaku, mataku membulat menatap wajah yang hanya berjarak beberapa senti dengan rupaku. Ya, sosok lancang ini adalah si menyebalkan.

PLAK!

Kutepuk kasar pipinya hingga ia terpaling sembari mengaduh. Aku? Masih kaget, tidak kusangka sekarang aku terlalu fokus pada satu hal dan mengabaikan hal lainnya hingga berakhir bersama manusia keparat ini.

"Apa yang kau lakukan diㅡ"

"Aku bertanya padamu tadi" potongnya pada ucapanku. Ia kembali mendekat dan menempati posisi seperti tadi yang terbilang sangat tidak sehat. Jantungku bisa-bisa benar-benar meledak nanti.

"B-bukan urusanmu! Menyingkir!" sekali lagi aku mendorongnya pada lalu bersiap melepaskan sabuk pengamanku dan berniat meloncat keluar dari mobil ini, sialnya sang pengemudi sudah lebih dulu melajukan kendaraannya.

Aksi kaburku, gagal total.

Selama perjalanan berlangsung, aku tak memulai percakapan, Yoongi lah yang terdengar aktif saat ini. Ia bertanya tentang alamat kantorku, pekerjaanku disana dan mengapa aku bisa sampai bekerja jauh ke Seoul, semua itu kujawab seadanya dan sekenanya saja tanpa mengembangkan percakapan lebih lanjut, bahkan aku lebih sering menggunakan kata…

"Bukan urusanmu"

"Hhh… ngomong-ngomong, bagaimana kabar Bibi Jean dan Sari?" pertanyaannya itu membuatku tercekat, bahkan hampir lupa caranya bernafas.

"B-bagaimana bisa kau mengenal mereka?" tanyaku tergagap dengan kepala yang menoleh kearahnya. Beruntung sedang lampu merah, ia membalas tatapanku dan aku bisa meneliti matanya, mungkin saja ada kebohongan atau kebetulan belaka terpancar disana, namun jawabannya tak ada.

"Kita tinggal serumah dulu. Bibi Jean sering mengomeliku yang tak mengerti apapun. Lalu Sari, adikmu itu suka menari dan bernyanyi bersamaku" infonya, sekali lagi kurasa aku benar-benar lupa akan cara bernafas akibat pendengaranku yang menerima terlalu banyak informasi belakangan ini. Lubang hidungku membesar mengempis tanda aku benar-benar dibuat cengo akan segala kata yang kudengar darinya.

"S-serumah?" tanyaku memastikan kembali, lihatlah ia mengangguk mengiyakan. Hebat sekali, bukan?

"Kita pernah tidur sekasur" mataku terbelalak dengan kerongkonganku yang tiba-tiba tersedak sampai-sampai aku batuk seperti penderita TBC sekarang.

"Apa aku sudah tidak suci lagi? Bagaimana bisa aku menyerahkan diriku padanya?!"

"Haha! Rupanya kita begitu dekat dulu" kecanggungan melandaku yang juga mengutuk karena terjebak bersamanya di dalam mobil ini. Kuharap aku bisa segera sampai sekarang.

Sequel: Dream✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang