Masih di malam dan jam yang sama, aku duduk terdiam menatapnya yang baru saja selesai memasangkan cincin di jemariku. Jika pada umumnya pasangan kekasih akan saling tersenyum lalu berpelukan atau… err… berciumanㅡ maka kami berbeda jauh dari ekspetasi itu. Lihatlah, hanya ada raut paksaan di wajah Yoongi yang menuntutku untuk berkata 'baiklah'.
"Yoongi-ah. Begini, ng… kau sungguh menginginkan ini? M-maksudku, aku bukan pelarian karena kau tak mau dijodohkan, bukan?" tanyaku selembut mungkin, bahaya jika ia mengamuk seperti ibu-ibu yang menangkap basah suaminya selingkuh.
"Kita lupakan saja kejadian yang tadi. Aku melamarmu sekarang, kau tidak ada sangkut pautnya dengan masalah keluargaku" jawabnya mantap seakan keputusannya sudah benar-benar bulat dan takkan pernah berubah.
"Benarkah? Kalau begitu… tak apa jika aku menolak ini?" lenganku menarik cincin berharga itu dari jemariku, mengembalikannya ke dalam kotak dan menutupnya sebelum memberikan itu pada Yoongi yang diam menatapku lekat.
"… kenapa?" satu kata namun dilontarkan dengan penuturan yang dingin, baiklah aku mulai takut sekarang.
"Aku belum siap, Yoon. Ini masih terlalu asing bagiku. Okay, kau dewasa, kau mapan, dan kau siap untuk membentuk sebuah hidup baru. Tapi, bagaimana denganku? Aku belum melewati fase apapun yang kudambakan dalam hidupku. Aku belum siap menjadi seorang istri dan… ibu," tuturku pelan pada pria yang tertunduk di hadapanku saar ini. Nafasnya terdengar sangat pelan, aku sempat berpikir apa ia mati?
"Aku tau, kau melakukan ini karena kesal dengan keputusan orangtuamu. Kau tak ingin dijodohkan dan menjadikanku pelampiasannya… tapi, maaf. Aku tak bisa menikah denganmu jika itu alasannya. Aku tak bisa menikah denganmu jika aku adalah penyebab pertengkaranmu dan keluargamuㅡ"
"Sudah kubilang, kau bukan penyebabnya. Kau tidak melakukan kesalahan apapun. Mereka saja yang sudah keterlaluan, setiap saat mengatur kehidupankuㅡ"
"Tidak. Aku tidak bisa menikah dengan orang yang bahkan membenci keluarganya sendiri. Kau bisa saja berlaku begitu padaku nanti karena aku sudah memiliki hak untuk melarangmu berbagai hal yang sebenarnya kau sukai. Kau akan mulai bosan dan marah-marah padaku, sampai akhirnya mendiamkanku seperti keluargamu tadi, lalu kau membentakku, memakiku, dan akhirnya kau meninggalkanku," kerutan di keningku mulai tercetak sedikit saat aku menautkan alisku.
"Yoongi, buatlah sebuah perubahan agar aku terkesan dan memilihmu"
~•~
Kubuka pintu apartementku di pagi buta, keadaan tentram terpancar disana. Tadi malam aku menginap bersama Yoongi, tidur bersama bukanlah suatu masalah selama kami tak berbuat lebih. Hanya berbaring dalam diam dan saling memunggungi, kami tampak seperti orang asing tadi malam, apalagi saat ia meninggalkanku ketika aku terbangun di pagi hari. Kejam.
"Jangan bilang kalau kamu tidur di kantor lagi. Aku tau kamu bohong. Kamu pasti tidur di tempat lain, kan?" tudingan tajam sahabatku membuatku terhenyak. Sayangnya, aku tak punya tenaga untuk membantah bahkan sekedar berjalan saja aku begitu lelah.
"Yen! Kamu tuh kemana aja semalam?!," racau Angel memutar tubuhku agar menghadapnya karena tadi aku baru saja mengabaikan dan berlalu begitu saja.
"What's wrong with your face? Are you okay?" tanyanya panik ketika melihat raut kacauku. Lengannya memegang kedua pundakku lembut.
"Hm. Aku cuma kecapekan. Eh? Habis ini bayar listrik, ya? Nih, sampai gelap kayakㅡ"
BRUGH!

KAMU SEDANG MEMBACA
Sequel: Dream✔
Fanfiction𝑺𝒆𝒒𝒖𝒆𝒍: 𝑫𝒓𝒆𝒂𝒎 note: disarankan membaca cerita sebelumnya yang bertajuk 'DREAM'. Hanya sekedar goresan tentang bagaimana kisah asmara yang pernah terjalin antara aku dan dirinya. Apakah akan berlanjut dan membawaku pada akhir yang didambak...