03

5K 334 7
                                    

Lucunya, menilai sebelum mengenal. Bukankah lebih baik mengenal sebelum menilai?

Mentari menatap wanita yang kini tengah memandangnya melalui cermin, ia mendekat, sesekali meneliti keadaan wanita itu. Menyedihkan. Satu kata yang menggambarkan bagaimana kondisi wanita itu. Memang, penampilannya tidak berantakan. Baju kantor –kemeja berwarna biru muda- yang digunakan sangat rapi dan pas ditubuhnya, terlihat baru disetrika, begitu juga dengan rok hitam yang jatuh hingga menutupi lutut. Pakaian standar waktu bekerja.

Ia mendekat ke arah kaca, memperhatikan wajah gadis yang tak lain adalah dirinya lebih dekat. Diraba bagian bawah matanya, terlihat ada lingkaran hitam yang samar. Membuktikan bahwa tadi malam kembali ia sulit untuk terlelap. Kenangan akan Aksa mampu membuat dirinya seakan gila, berharap bahwa kenangan itu akan kembali terulang. Membiarkan dirinya kembali bersama dengan kekasihnya.

Meski itu terdengar konyol. Tapi, coba tanya pada seseorang yang belum bisa move on dari pasangannya. Ketika kenangan akan orang yang kita cintai hadir kembali, merecoki setiap pikiran, ada harapan yang muncul di sela kenangan itu. Harapan bahwa mereka bisa kembali bersama, dan menghabiskan waktu seperti semula.

Helaan napas keluar, sepertinya dia percuma pergi selama bertahun-tahun yang pada akhirnya dirinya masih berkubang dalam kesedihan akan meninggalnya sang kekasih. Banyak orang yang mengatakan bahwa rindu itu sangat menyiksa ketika ia tidak bisa tersalurkan, dan Mentari mengakui itu benar. Hanya saja, mereka masih melihat orang terkasih hidup, sedangkan dirinya?

Hanya melihat sang kekasih dari foto dan kenangan yang tertinggal.

Mentari menjauhkan sedikit, menunduk, dan meraih lipstik berwarna merah, dan memoleskannya di kedua bagian mulutnya. Ia mengecap, berusaha meratakan lipstik itu. Merasa yakin, dia akhirnya memasukan lipstik bernomer 10 itu ke dalam pounch bergabung dengan alat komestik lainnya.

Bagi wanita penampilan adalah utama, mungkin pria juga, tapi, ahh... Mentari tidak tahu. Yang dia tahu hanyalah dia harus menjaga penampilannya, salah satu persyaratan dalam bekerja, penampilan menarik.

Dibiarkan rambutnya tergerai, menutup leher putihnya. Berjalan pelan ke arah ranjang ia mengambil tas jinjing yang berwarna senada dengan roknya, lalu kembali melangkah menghampiri figura. Ia mengusap pelan wajah Aksa di sana, membuat dia merasa sesak ketika kembali sadar kalau Aksa sudah tidak ada, dan senyuman itu tidak pernah ia lihat lagi.

"Aku pergi kerja dulu sayang," pamitnya. Sebelum kembali berjalan keluar dari kamar, meninggalkan kamarnya yang kembali sunyi. Hentakan sepatu yang digunakan membuat setiap langkahnya berisik. Mentari masih berusaha untuk menampilkan ekspresi biasa saja. Dia tidak mau terlihat lemah, meski pun dirinya dalam keadaan lemah.

Benar, jika hati sedang bermasalah, aktifitas terganggu. Meski tidak semua, pasti ada kerjaan yang akan rusak, dan Mentari tidak mau jika pekerjaannya terganggu. Selama melangkah, Mentari berpikir, sikap apa yang akan ditunjukan oleh dirinya waktu bekerja.

Apa harus seperti pada saat dirinya bekerja di luar kota?

Mentari menghela napas, sepertinya dia akan memilih opsi itu; bersikap tidak peduli dan sadis. Dia berbelok ketika dirinya sudah berada di lantai dasar rumahnya, dan berjalan tenang ke arah ruang makan.

Ada alasan kenapa dirinya bersikap seperti itu, dia ingin menghindari seseorang yang begitu kepo, dan hanya berbasa-basi. Bukan tidak suka, tapi, dalam kondisi seperti ini dia paling malas berurusan dengan orang semacam itu. Kalau baik tidak masalah, tapi, kalau sebaliknya? Meribetkan.

MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang