34

1.9K 245 30
                                    

Mentari mengabaikan Angkasa, lebih tepatnya tidak mau menatap Angkasa. Dia merasa bodoh karena sudah memikirkan laki-laki yang ternyata sedang berduaan dengan wanita entah siapa mungkin. Tadi, dia sudah meminta Benayu untuk tidak duduk bersama dengan Angkasa. Kalaupun mereka tidak bisa mendapatkan tempat duduk, dia akan sangat bersedia untuk meninggalkan tempat ini sekarang juga. Dia kira Benayu akan mengabulkannya.

Nyatanya tidak.

Laki-laki itu tetap mau duduk di sini, bersama dengan Angkasa yang kini tengah mengobrol dengan wanita lain. Tanpa mempedulikannya. Bukan Mentari ingin dipedulikan, hanya saja, tak bisakah dia sedikit menghormati Mentari di sini. Apa mentang-mentang jalanin saja dulu membuat Angkasa bisa seenaknya?

"Kamu enggak makan, Tari?"

"Hem," Mentari tidak bisa mengendalikan diri. Dia menyendok satu sendokan penuh nasi beserta daging dan melahapnya cepat. Sebenarnya dia tahu, ketika dia berhubungan dengan seseorang, ada kekesalan yang akan dia rasakan. Mau setenang apa pun dia, kekesalan itu ada. Tetapi, yang dia tidak tahu, perasaan itu datang terlalu cepat.

Jalanin aja dulu? Hah, bilang aja mau php.

"Mentari ini, bawahannya Angkasa?"

Pertanyaan itu dilontarkan begitu lembut, sopan, dan tenang. Tidak ada kesan cemburu yang tersirat, merendahkan, kecuali rasa penasaran. Ketika seseorang melontarkan pertanyaan hanya dua kemungkinan; penasaran atau tertarik dan hanya sebuah basa-basi belaka.

"Ya," kata Mentari singkat. Tak ada ketertarikan untuk mengobrol dengan wanita itu. Yang dia inginkan hanyalah keluar dari tempat makan ini dan kembali ke kubikelnya.

"Sepertinya kamu enggak nyaman di sini?"

Tatapan Mentari langsung mengarah pada Benayu, melototinya. Bukankah sejak tadi dia sudah mengeluarkan gestur tidak nyaman, tapi kenapa dia baru menanyakan sekarang. Mentari menolehkan kepalanya, dan berhenti beberapa detik ketika pandangannya jatuh pada Angkasa yang memperhatikannya.

Ia kembali membuang muka.

"Gimana Angkasa di sana?" Mentari mau tak mau langsung menaikkan pandangannya ke wanita itu. Dia mengernyitkan dahi, merasa ada sesuatu yang salah.

"B aja."

"B gimana dulu nih? Biasa aja, apa bagus?"

Hampir saja Mentari merotasikan kedua matanya. Pertanyaan wanita ini dia rasa semakin menjurus. Ingin tahu tentang Angkasa. Memang siapa sih wanita itu? Dan untuk apa dia mau tahu pendapatnya tentang Angkasa.

"Terserah Mbaknya mau berpikir seperti apa tentang arti B itu." Mentari mengaduk-aduk makanannya dengan kasar.

"Tar, makanannya enggak usah diaduk-aduk kenapa?" Mentari tersentak ketika Benayu menyentuhnya. Menghentikan kelakuannya. "Mau ganti makanan apa gimana? Mau dipesenin lagi?"

"Enggak."

"Atau mau tukeran makanannya sama saya?"

"Enggak, Benayu."

"Atau sama Angkasa?" Wanita itu menyela.

Mentari menatapnya sengit. "Enggak! Saya cukup dengan makanan saya sendiri."

"Aduh, sensi amat." Wanita itu tertawa dan menoleh ke Angkasa. Dengan santainya dia menyentuh lengan Angkasa, yang sontak membuat salah satu saraf rasional Mentari putus. "Kamu apain anak orang, Kasa. Sampai dia jutek gitu. Jangan bilang, di kantor kamu malah marah-marah."

MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang