12

2.3K 201 4
                                    

"Menyebalkan, ketika ingin menghindar malah dipertemukan."

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kamar Mentari masih tertutup rapat, tirai bahkan masih menutupi sinar matahari yang sudah menyapa bumi dengan sinarnya. Ada erangan kecil terdengar dari balik selimut, sebelum akhirnya sebuah kepala menyembul dari dalam. Mentari menguap untuk kesekian kalinya. Hal yang dilakukan adalah menatap langi-langit kamar, dengan tatapan kosong. Bermenit-menit berlalu tidak ada pergerakan berarti. Sebelum akhirnya, Mentari bangun dari keterdiamannya. Tubuhnya terasa remuk, semalam dia begadang, menyelesaikan tugasnya yang ia bawa pulang. Mentari masih tidak beranjak dari sana, rasanya begitu nyaman dan malas mengangkat tubuhnya. Rambutnya ia sugar sembari melihat cahaya yang menyusup ke dalam kamarnya melewati celah vantilasi.

"Ah, malas banget buat bangun. Kenapa cepat banget sih pagi, padahal baru mejemin mata." Tubuhnya ia bungkukkan hingga menyentuh selimut. Sekali lagi matanya ia pejamkan beberapa menit, mengeluarkan rasa malas yang tersisa sebelum akhirnya ia menyibakkan selimut dan turun dari ranjang.

Mentari mencepol rambutnya dan mengambil handuk, ia sempat berhenti melihat ke arah ponselnya sejenak. Mencari tahu ada pemberitahuan apa di sana. Awalnya tidak ada ekspresi yang berarti sebelum tangannya berhenti pada satu nama.

"Ini orang masih aja. Udah dicuekin juga!" kata Mentari jengah setengah geretan. Bayangkan saja, setelah dia memberikan nomernya ada saja chat menyebalkan yang dia terima dari playboy satu itu. Siapa lagi kalau bukan, Benayu. Laki-laki itu sepertinya tidak mempunyai kata menyerah.

Dia sudah mem-blockir nomer ponsel Benayu, pernah. Sebelum akhirnya dia membukanya kembali, karena merasa hal itu kekanakan. Dan sekarang, dia menyesal sudah membuka blokiran itu.

"Serah lah, nggak bakal kubaca. Untung aja sekarang libur, nggak perlu nemuin orang kayak gini." Dikembalikan ponselnya kembali, dan berlanjut ke arah kamar mandi. Rasanya sedikit tenang sebelum akhirnya dia melangkahkan kakinya ke dalam kamar mandi, memulai hari liburnya.

****

"Bapak sama Mamak, pergi kondangan."

"Ke mana?" Mentari menyesap kopi paginya, melangkah mendekat ke arah Venya yang duduk di ruang tengah, dengan laptop di depannya. "Lagi ngapain? Kerjain tugas?" Ia menjulurkan sedikit kepalanya sembari duduk di samping Venya.

"Iya, biasa, Mbak. Kalau masih sekolah dan kuliah mah, tugas selalu ada." Venya mengetik sebentar sebelum berhenti, menoleh ke arah Mentari. "Oh ya, tadi Mbak nanya Bapak sama Mamak kondangan kemana? Kondangan ke Mbak Sri. Di Narmada."

"Lha, jauh amat?"

"Ya gitu, namanya juga undangan. Tadi sebenernya mau ngajak Mbak, tapi Mbaknya belum bangun."

"Ngajak, Mbak? Tumben." Mentari berpikir sambil mengesap minumnya. Biasanya dia akan diajak jika salah satu orang tuanya tidak bisa hadir. Bisa dibilang, dia sebagai orang pengganti. Dia tidak pernah disuruh menemani ketika kedua orang tuanya mempunyai waktu luang dan sekarang terasa aneh jika dia diminta untuk ikut.

Venya tidak langsung menjawab, ia sibuk mengetik beberapa kalimat yang mulai muncul di kepala. Takut jika dia tidak langsung menulisnya akan buyar.

Hanya ketikan yang terdengar di menit-menit awal. Mentari bahkan tidak mengganggu, ia menunggu dengan sabar sambil menikmati kopinya.

"Mbak kan mau dikenalin sama orang."

MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang