39

1.1K 145 3
                                    

Mentari mengangkat ponselnya sekali lagi. Kata-kata yang sudah ia ketik masih terpampang nyata di sana. Sejak tadi, dia ragu untuk mengirimnya. Entah kenapa dia merasa takut akan jawaban dari Benayu.

"Sebenarnya apa sih maksud dari Benayu?" Ia mengangkat ponselnya cukup tinggi. Spasi itu masih berkedip, seolah menunggu kata apa yang akan dia ketik lagi. Ucapan Benayu kemarin, terasa rancu di telinganya. Seperti laki-laki itu tahu hubungan dia dan Angkasa.

"Tapi, kalau dia tahu dia tidak akan setenang itu."

Bayangan senyuman Benayu kembali muncul dalam kepalanya. Ia menggeleng. Dia tidak akan tahu. Tapi kalau dia tidak tahu, kenapa dia berbicar seperti itu?

"Lama-lama aku bisa jadi gila!" serunya. "Enggak punya pilihan lain, aku harus chat dia." Ia menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Setelah itu dia mengirim chat dengan deguban jantung yang menggila.

Ia menunggu terus menunggu pesan Benayu. Untuk pertama kalinya dia melakukan itu. Waktu terus berlalu chat-nya belum dibalas sama sekali. Saking bosannya dia merebahkan hingga dia terlelap.

Dia bangun karena Venya menggedor pintunya cukup keras.

"Mbak! Mbak Mentari! Masih hidup kan! Buka pintunya dong!"

Mentari menyentuh kepalanya yang berdenyut. Kadang dia akan seperti itu ketika bangun secara tidak sukarela. "Bentar!" Ia menuju pintu dan membukanya. Venya berdiri dengan cengiran lebar, dengan kedua tangan yang sudah membawa baju yang berbeda.

"Mau ngapain?" tanyanya, heran. Dia melihat dua baju itu bergantian.

"Mana bagus Mbak? Yang ini?" Venya memajukan baju berwarna pastel yang mempunyai pita di bagian pinggang. "Apa yang ini?" Kali ini dia memajukan baju berwarna biru laut polos.

"Ini," Mentari menunjuk baju warna pastel. "Mau ke mana sih? Kencan?"

"Hehe. Makasih ya Mbak!" Venya langsung berpaling.

"Dasar. Enggak usah malem-malem pulang, dan jangan mau diajak pergi ke tempat sepi!"

"Iya!"

Mentari berdecak dan langsung menutup pintu. Adiknya itu tengah dilanda perasaan berbunga-bunga. Dia berharap sih tidak akan terjadi apa-apa. Ia duduk di tepi ranjang masih memegang kepalanya. Tidak ada yang dia lakukan selain itu.

"Hah. Kalau libur gini bikin bingung mau ngapain," seru Mentari. Dia melihat ponselnya dan langsung teringat pesannya belum dibalas. Ia gercap mengambil ponsel itu dan tersenyum lebar, dia membalas, dan Angkasa juga mengirim pesan sekaligus menelponnya. Ia meringis. Sepertinya tadi dia terlalu pulas.

Dia memutuskan untuk membuka pesan Benayu. Rasa penasarannya tak bisa dibendung lagi.

Benayu.

Penasaran banget? Kasih tahu enggak ya.

Kok nyebelin ya?

Mentari.

Bisa enggak sih, sekali aja enggak usah nyebelin?

Mentari geleng-geleng kepala. Benayu tetap Benayu, dia selalu bersikap menyebalkan setiap waktu. Ia keluar dari room-chat Benayu, dan giliran membuka chat dari Angkasa.

Angkasa.

Ke rumah, sore ini.

Mentari.

MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang