23

1.8K 205 15
                                    

"Kadang,sepertinya mereka lupa. Hujan tak selamanya beriringan pada kesedihan, dan kenangan. Namun, juga beringan dengan secercah kebahagiaan akan rasa yang mulai mengembang. "

Gerimis-gerimis kecil yang mulanya hadir, kini sudah berubah menjadi hujan lebat. Percikan-percikan air yang tak jarang timbul karena injakan kaki, atau sesuatu yang di atasnya menyebar, membuat sekelilingnya semakin basah. Banyak orang yang meneduh, dan tak jarang juga ada yang sengaja untuk membasahkan tubuhnya, mengambil kebahagiaan yang ada.

Angkasa menarik paksa Mentari untuk turun dari mobilnya dan berlari menuju bagian yang melindungi keduanya. Masih dengan suara hujan yang begitu mendominasi, ia menarik napas lalu menghembuskannya pelan. Dia sama sekali tidak pernah berniat untuk kembali ke rumahnya dengan Mentari. Sama sekali tidak pernah. Niatnya tadi, hanya menemani gadis itu CFD-an yang dimintai oleh Mamaknya Mentari, selebihnya tidak. Karena dia sendiri sudah berniat untuk menjauh.

"Bisa lepasin tangan saya?"

Laki-laki itu berpaling, kedua alisnya bertaut pandangannya tertuju pada genggaman tangannya di pergelangan tangan gadis itu. Angkasa langsung melepasnya, tepatnya menghempaskannya yang membuat Mentari melotot. Perasaan dia tadi sudah melepaskan tangan gadis itu, pikir Angkasa.

"Terserah kamu mau masuk apa enggak," kata Angkasa sambil berbalik. Biasanya orang-orang memberikan pertanyaan "mau masuk apa tidak" bukan seperti laki-laki yang tengah menenangkan diri dari perasaannya yang semakin menjadi-jadi itu. Rona merah muncul di wajahnya. Seolah-olah sekarang bukan musim hujan, melainkan musim panas.

Angkasa buru-buru mengambil kunci di kantongnya. Gemericing kecil terdengar sebentar sebelum akhirnya ia berhasil mengambil benda panjang yang berbentuk dari dalam kantongnya. Dia sudah sedemikian rupa berusaha untuk tenang, mencoba untuk bersikap tidak terpengaruh akan kehadiran Mentari. Sayangnya tidak berhasil. Ia masih lemah.

"Damn!" Angkasa tanpa sengaja mengumpat ketika menyadari tangannya gemetar, hal membuatnya sulit memasukkan kunci ke dalam lubang pintu. Ini sangat jarang terjadi pada Angkasa, mengingat dia tidak menggunakan laptop dan ponsel terlalu lama. Dia masih tidak percaya, karena kegugupannya tangannya bisa seperti ini.

Angkasa terus menerus berusaha dan umpatan kerap kali terdengar, meski lirih. Untung saja suara hujan begitu besar, meredam umpatan kekesalannya yang barusan dia keluarkan. Ia menarik napas dalam lalu menarik knop pintu dengan kasar, memaksakan kunci pintu itu masuk dan dia tersenyum puas ketika kunci bisa diputar. Buru-buru ia menarik knop pintu dan mendorongnya. Berjalan cepat, dia hampir menutup pintunya ketika menyadari ada hal yang ia lupakan.

Dia menoleh ke belakang dan menemukan Mentari menatapnya tak percaya. Angkasa meringis kecil. Ah, kenapa dia bisa melupaka kehadiran Mentari.

"Kita ngapain di sini?" Terlihat jelas gadis itu tengah menahan kekesalannya pada Angkasa. Tidak heran, kalau dia merasakan seperti itu. Siapa pun orangnya akan merasakan hal yang sama.

"Neduh."

"Saya mau pulang."

"Hujan besar. Nanti saya akan nganterin kamu pulang."

"Nganter?" Gadis itu berdecih, membuang muka, terlihat malas melihat Angkasa. "Saya aja dicuekin di luar."

Kedua alis Angkasa tertaut, apa pendengarannya sedikit bermasalah? Seharusnya yang dia dengar kalimat dengan kekesalan yang biasa dia dengarkan. Tapi, sekarang, merajuk? Angkasa kembali merasa gila karena itu.

MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang