46

1.5K 190 8
                                    

Bola matanya bergulir, memandang pintu yang baru saja terbuka. Venya muncul dari sana, dengan senyum tak jelas, dengan tangan yang menggaruk sisi kepalanya. Mentari tahu apa yang mungkin dikatakan adiknya itu. Karena dia tidak sengaja melihat objek yang datang ke rumahnya. Beberapa menit lalu.

"Mbak, ada Mas Angkasa lho di bawah."

"Suruh pulang." Dipeluknya guling semakin erat. Peduli amat dengan kedatangan Angkasa itu. Selain datang, Angkasa sudah banyak sekali mengiriminya pesan dengan pesan yang serupa. Mungkin, dipikir dia akan mau membalasnya. Tidak akan.

"Enggak kasian apa?"

"Mbak enggak pernah nyuruh dia ke sini. Jadi, Mbak enggak punya kewajiban buat nemuin dia."

Ia masih bersikeras. Baginya, sudah cukup sekali saja dia dipermainkan. Dia tidak akan mau lagi diperlakukan sama. Dia tidak sebodoh itu.

Venya menghela napas, dia duduk di sisi ranjang Mentari.

"Mbak, Mbak tahu enggak apa yang sekarang sedang dilakuin sama Mas Angkasa?"

"Enggak tahu dan enggak mau tahu," ketusnya. Dia berbalik dengan sorot sebal. "Kalau kamu cuman mau ngomong tentang dia, mendingan kamu keluar. Libur gini, Mbak mau istirahat, bukan mau dengerin omong kosong tentang dia." Ia melemparkan guling ke sisi kirinya, menurunkan tubuhnya, siap untuk tertidur.

"Dia bicarain tentang masalah kalian berdua, Mbak."

Ia berhenti, dan langsung menoleh dengan tampang tak percaya.

"Bicara?"

Adiknya mengangguk. "Masalah yang diperbuat oleh dia. Kebohongan. Itu kan yang buat Mbak enggak mau ketemu sama dia?"

Mentari membisu. Dia masih tidak mempercayai pendengarannya. Angkasa membicarakan masalah mereka ke orang tuanya? Untuk apa? Mendapatkan dukungan?

Mendadak rasa kesal menyelumutinya.

"Dia ngadu?"

"Enggak!"

"Enggak apa?"

"Mbak, dia itu hanya menjelaskan sama Mamak dan Bapak, supaya enggak ada menimbulkan kesalah pahaman lagi," seru Venya bersemangat.

"Kenapa kamu jadi belain dia?"

"Enggak belain! Venya cuman mau Mbak kasih kesempatan buat Mas Angkasa."

"Enggak akan! Bilang sama dia, apa pun yang dia katakana ke Mamak dan Bapak, enggak akan buat Mbak mau sama dia lagi!" Mentari menarik selimut, menutupi seluruh tubuhnya. Dia tidak mau mendengarkan apa pun tentang Angkasa.

"Mbak."

"Venya keluar dari kamar, Mbak!" perintahnya tegas dari balik selimut.

Ada hal yang masih diabaikan oleh Mentari. Getaran kecil yang hangat seperti perapian yang ada ditengah musim dingin. Dia mengabaikan perasaannya yang tersentuh. Dia mengabaikan perasaannya yang sebenarnya.

Karena ia takut terluka.

****

Mentari hampir melotot ketika melihat Angkasa berdiri di depan kubikelnya. Menyentuh map yang dia sangat yakiin adalah miliknya. Dia sudah mengabaikan Angkasa beberapa hari ini. Laki-laki itu sering kali datang ke rumahnya, tak kenal lelah. Dan sekarang, dia malah berdiri di sana.

MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang