44

1.5K 177 11
                                    

"Gila ya, saya seneng banget. Akhirnya bisa terus-terusan keluar berdua sama kamu." Benayu meyunggingkan senyuman lebar, sesekali menoleh ke samping untuk melihat Mentari. Hari ini, untuk kesekian kalinya, mereka berdua keluar untuk menikmati malam minggu.

Jalanan ramai, tapi itu yang sangat disukai oleh Benayu saat ini, karena dia bisa berduaan di mobil dengan Mentari.

"Enggak usah lebay," kata Mentari. Ia memalingkan muka, menatap motor yang dekat dengan mobil Benayu. Matanya menyipit, melihat seorang anak kecil masih berjualan di sore hari. Menawarkan buah nanas ke pembeli. Dia merasa kasihan dan bangga melihat perjuangan anak sekecil itu. Seharusnya anak itu tengah asik bermain dengan teman-temannya.

"Tar."

Tepukan ringan membuatnya kembali menoleh. Sorot penasaran langsung menyambutnya. "Ngelihatin apa sih, sampai saya dicuekin?"

Benayu mencondongkan tubuhnya, mencari tahu apa yang membuat Mentari mengabaikannya. "Bocah laki-laki itu."

"Iya." Mentari menunjuk ke depan. "Udah lampu hijau."

"Eh masa?" Benayu kaget, dia menjalankan mobilnya beriringan dengan klakson kendaraan yang tedengar, begitu ribut. "Elah, enggak bisa sabar apa, nih orang. Dikira mereka doang yang ada di sini," keluhnya.

"Makanya jangan lihatin yang lain."

"Ini kan karenamu."

"Kok saya?"

"Karena kamu cuekin saya." Benayu menyeringai. "Makanya enggak usah cuekin saya. Biar saya fokus."

"Alah, gombal." Mentari menaruh kepalanya di kaca mobil. Diam-diam memperhatikan Benayu. Tak ada yang aneh dalam diri Benayu, laki-laki itu tampan, dan mudah untuk menarik perhatian wanita. Sifat supelnya bahkan dengan mudah membuat hati seseorang terjerat, terutama dengan perhatian Benayu.

Seharusnya dia mudah melupakan Angkasa. Tapi kenapa dia tidak bisa memasukkan Benayu ke dalam hatinya.

"Kenapa lihatin saya kayak gitu? Udah mulai suka?"

"Ngarep," cibirnya.

"Emang ngarep sih." Benayu tergelak. "Jadi, kamu mau ke mana sekarang? Enggak ada makan ice cream lagi."

"Padahal mau makan itu."

"Pilek baru tahu rasa."

"Cie perhatian."

"Baru tahu?"

Mentari tersenyum. Ia memandang ke depan sambil berpikir, dan entah apa yang memasukinya dia menyebutkan sesuatu yang tidak pernah dia coba lagi.

"Kopi. Saya mau minum kopi."

*****

Tak perlu berdebat untuk menentukan di mana mereka akan menghabiskan malam minggu. Mentari mengikuti Benayu, karena dia tidak tahu tempat kopi yang enak.

"Tumben amat mau minum kopi? Kesambet apaan?"

"Mau minum aja. Tenang saya yang bayar."

"Tari."

Mentari cengengesan. "Becanda," katanya. "Apa yang enak? Double expresso enak enggak?"

"Enggak tahu."

"Kan kamu yang ngajakin ke sini. Gimana sih?"

"Saya ngajakin, bukan berarti saya tahu semua rasa makanan dan minuman di sini, Mentari sayang."

MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang