10

2.5K 220 2
                                    

"Hanya mendengar sedikit tentangmu, mampu membuatku penasaran setengah mati."

---------------------------------------------------------------------------

Mentari menghela napas, untuk kesekian kalinya. Kepalanya sepertinya sebentar lagi akan meledak. Aksa dan Angkasa. Dua orang yang kini memenuhi pikirannya. Kejadian kemarin, masih mengusik dirinya, menghempaskan apa pun yang sempat terpikirkan dan menaruh dua nama itu pada topik utama yang dia pikirkan.

Kedua tangannya ditekuk, dijadikan sebagai tumpuan. "Dari mana laki-laki itu kenal Aksa? Aksa nggak pernah bilang kalau punya temen laki-laki yang sialan seperti itu."

Bukan tanpa alasan dia menyebut laki-laki itu sialan, ada banyak alasan, misalnya saja sikap Angkasa yang terkesan mempermainkan emosinya. Kemarin, dia masih ingat dengan jelas bagaimana Angkasa memancing minatnya dengan terus menyebutkan,

Sudah berapa lama kamu dan Aksa pacaran?

Memangnya Aksa suka sama kamu karena apa?

Apa kamu yakin Aksa suka sama kamu?

Mentari meniup udara, mengingat beberapa pertanyaan itu membuat emosinya mendidih. Dan ketika dia menjawab pertanyaan Angkasa dengan penuh kepercayaan dirinya.

Saya hanya bertanya, tidak butuh jawaban.

Bagaimana bisa dia tidak mempunyai keinginan menampar laki-laki –yang sialnya adalah atasannya itu?"

"Astaga, Mentari, kamu udah datang?! Saya kira siapa."

Pekikan itu membuat Mentari mendongak. Ia tersenyum tipis, ini kali pertama ada yang menyapanya seperti ini selebihnya dia selalu menjadi bahan gosip. Orang yang mengajaknya berbicara itu adalah Linda, salah satu staff keuangan. Dari yang sudah Mentari perhatikan, gadis itu cenderung hanya mendengarkan, bahkan tak jarang ketika Siska mulai menggosip, ia hanya tersenyum.

Bisa dibilang di antara banyak orang yang ramah, Linda salah satunya.

"Ah, maaf buat lo kaget."

"Nggak apa-apa kok." Linda mendekat, ia mengangkat minuman di tangannya. "Mau kopi?"

Mentari menggeleng. "Nggak deh, makasih."

"Nggak apa-apa kok, saya beli dua." Linda mengambil salah satu kopi yang berada di sisi kanan, meletakannya di kubikel Mentari. "Kamu suka cappuchino?"

"Saya nggak usah, beneran."

"Nggak apa-apa kok, tadi ini dapat diskon lumayan." Linda tertawa kecil.

Mentari menatap Linda ragu sebelum beralih pada kopi yang ada di mejanya. Ia menghela napas, sebelum menarik sebuah senyuman. "Berapa?"

"Nggak usah, Tari." Linda sedikit mundur sembari menggoyangkan sebelah tangannya, menolak. "Itu gratis. Sekalian jadi tanda pertemanan."

"Kalau kamu mau temenan, ya temenan aja." Mentari terkekeh pelan. "Tapi, makasih, udah beliin," katanya sambil mengangkat kopi pemberian Linda.

Linda mengangguk, senyuman ramah terpancar di wajahnya. "Saya kira kamu sombong, Tar." Dia bergerak ke arah kubikelnya yang tidak jauh dari Mentari. "Ternyata nggak."

"Lagian siapa suruh ngomongin orang nggak-nggak." Mentari tidak mengatakan itu untuk Linda, dia mengatakan itu untuk Siska yang ingin mulutnya ia tampar. Masih tergambar dengan jelas perkataan perempuan satu itu. Dia menghela napas, dan mulai mencium bau kopi. Rasanya tenang, kepenatannya perlahan menghilang.

MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang