16

2.1K 183 11
                                    

"Kadang kala, ketika kepala tak mampu berpikir, dan emosi mengambil alih. Hal yang tidak pernah terpikirkan akan diucapkan dengan mudahnya dan berakhir dengan rasa malu."

Mentari tidak tahu harus menyembunyikan wajahnya di mana, dia harus berbicara apa. Setelah bibirnya dengan lancang mengeluaran kalimat yang tak seharusnya dia ucapkan. Bagaimana bisa dia mengatakan hal memalukan itu pada Angkasa, orang yang tidak dia kenal sama sekali, orang yang menjadi atasannya, dan orang yang menjengkelkan.

"Kamu ngomong apa?"

Dasar Mentari bodoh!

"Bukan apa-apa." Mentari memalingkan muka, malu untuk menunjukan bagaiman ekspresinya saat ini. Dia jarang kehendali seperti ini, dan kenapa ketika dia kehilangan kendali harus di depan Angkasa. Tidak peduli sebenarnya kalau dia kehilangan kendali seperti biasa, atau topik yang biasa dia ceploskan. Bukan seperti sekarang ini! Dia seperti meminta laki-laki itu untuk melamarnya.

Sungguh memalukan.

"Kamu nyuruh saya ngelamar kamu?"

Lihat kan!? Gara-gara mulutmu!

"Enggak!" Mentari berpaling dengan kedua mata membeliak. Anak-anak rambutnya mengikuti pergerakannya, menutupi sebagian depan keningnya. Ia mengecap bibirnya sendiri, berdeham sejenak ketika menyadari dia sudah melakukan hal yang salah. "Enggak," ralatnya dengan nada rendah. "Saya nggak minta Bapak buat ngelamar saya," kali ini ucapan itu diucapkan dengan kepala menunduk, remasan jemarinya, dan sambil menggigit bibirnya.

"Oh, saya juga nggak mau ngelamar kamu."

Bisa dia dengar ejekan di sela kalimat Angkasa yang sukses membuat wajahnya terasa terbakar. Ia medongak, bibirnya mencebik tak suka. "Saya juga nggak minat buat dilamar sama Bapak. Anggap saja tadi saya sedang gila, makanya ngelantur."

"Saya nggak nanya."

Mentari menggertakan giginya, dia mendelik sebal pada Angkasa yang kini memalingkan muka setelah mengeluarkan kalimat menjengkelkan. "Saya cuman kasih tahu, takut bapak terlanjur merasa diawang-awang," katanya dengan nada meremehkan. Dia bahkan menunjukan sudut bibirnya yang ditarik ke atas.

"Imajinasimu terlalu tinggi, siapa juga yang mau ngerasa diawang-awang sama wanita kayak kamu."

Gadis itu tidak bisa menghentikan kepalanya menoleh, menatap Angkasa yang berdiri menjulang di sampingnya. Rasanya dia ingin mendorong laki-laki itu, bodo amat kalau dia akan terjungkal nanti, bahkan dia berharap tubuh laki-laki itu kotor karena genangan air.

"Dasar sok ganteng!" desisnya tak peduli jika Angkasa mendengarnya.

"Sok ganteng ini yang kamu minta nemuin Mamak kamu."

"Berhenti ngomong itu?!" Akhirnya gadis itu meledak. "Saya mabok hujan, jadi ngomong asal!"

Mentari tak tahan, dia menggenggam payungnya erat. Ia memalingkan mukanya dengan raut memerah, marah sekaligus malu. Bibirnya mengerucut menghembuskan udara dengan keras, dan meninggalkan jejak-jejak uap di sana. Mentari maju, menyibak orang-orang yang terlebih dulu berjalan. Dengan langkah lebar yang diiringi dengan kemarahan, dia menggerutu.

Mengabaikan beberapa mata yang mengarah padanya, yang sirat akan keingintahuan. Dia menatap sekeliling mencari kendaraan. Berharap dia bisa mendapatkan taksi secepat yang ia bisa. Ia tidak mengalihkan pandangan sedikitpun dari sana.

"Mentari! Pulang bareng yuk!"

"Sial, Benayu lagi!" Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Salah satu hal yang bisa dia lakukan adalah menghindari laki-laki itu dengan pergi ke sebrang. Merasa kendaraan mulai menipis dia melangkahkan kakinya ke depan. Baru saja satu langkah, tubuhnya limbung karena tidak menyadari ada batu di depannya, membuat kakinya oleng. Mentari memejamkan matanya. Berharap ada yang membantunya seperti drama yang dia tonton.

MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang