26

1.6K 216 14
                                    

Mentari merapatkan bibirnya rapat-rapat, sambil memegang erat tali tasnya. Seolah-olah, jika dia tidak melakukan itu semua, tasnya bisa menghilang begitu saja. Ia menatap sekeliling, sebelum menghela napas dalam. Akhirnya, setelah dia menolak dengan dengan segala rupa, dia tetap berada di sini, di XXI untuk menonton film yang sudah tiketnya dibeli oleh Benayu.

Tadi, dia sudah niat kabur, dan sayangnya Benayu tahu hal itu. Entah dari mana, hingga dia bisa duduk di kap mobil Mentari, sambil tersenyum senang, seperti mengatakan "I got you."

"Kamu mau popcorn rasa apa? asin apa manis? Kalau rasa cinta enggak ada, Tar."

"Apaan sih!" Mentari memukul pundak Benayu, menghentikkan laki-laki itu untuk menggombal. Rasanya semakin ke sini, dia sudah terbiasa dengan hal itu semua. Tidak ada kekesalan, melainkan geli. Karena dia sudah terbiasa.

"Akhirnya kamu senyum, gitu kek dari tadi. Jangan kayak gini," Benayu membuat ekspresi yang ditekuk, lipatan kening yang terlihat jelas, dengan bibir yang cemberut. Mentari tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa kecil. "Kan enggak enak dilihat. Mau minum apa?" katanya lalu kembali melihat ke papan menu di depan mereka. "Mau minum apa?" tanyanya lagi.

"Hot chocolate, aja." Selalu, ketika dia ke bioskop dia akan memesan itu untuk memangkas rasa dinginnya. Dia tidak terlalu menyukai dingin, rasanya tubuhnya bisa menggigil begitu saja, membuat kantung kemihnya selalu ingin mengeluarkan isinya sesering mungkin.

"Kalau popocornnya?"

"Terserah kamu aja."

Helaan napas pelan membuat Mentari menoleh dan mengernyitkan dahi. Benayu tengah menatapnya dengan lurus dan tak percaya.

"Apa?"

"Kenapa perempuan selalu bilang kata terserah pas ditanya?" Benayu memiringkan sedikit kepalanya, sebelum menyilangkan tangan di depan dada. Merasa tak mengerti dengan kata ajaib satu itu. "Kamu tahu, kata-kata itu udah kayak jebakan nyata."

"Jebakan kayak gimana?"

"Jabakan antara hidup dan mati." Benayu tertawa mendengar perkataannya sendiri. Ia menyurai rambutnya. "Bingung maksudnya. Entar bilang a dijawab 'aku enggak mau' kalau bilang b 'aku enggak b' terus ditanya lagi mau apa 'terserah' kan berabe. Apalagi nanti udah dibeli tapi enggak sesuai keinginan malah jatuhnya ngambek. Jadinya serba salah."

"Makanya jangan jadi cowok." Mentari geleng-geleng kepala. Dia sendiri bingung kenapa kata terserah itu terkesan horor di telinga para laki-laki. Padahal yang mereka inginkan hanya kepekaan akan keinginannya. Seperti, mereka langsung tahu apa yang mereka inginkan tidak perlu bertanya.

"Ya terus, kalau enggak jadi cowok," Benayu menaruh satu tangannya di atas meja, lalu menoleh ke arahnya dengan raut serius.

Mentari menaikkan sebelah alisnya sembar menatap Benayu bingung, dan setengah berjaga-jaga dengan apa yang akan diucapkan oleh Benayu. Laki-laki itu selalu bisa membuat peluang untuk menggodanya. "Jadi cowok?"

"Enggak bisa deketin kamu."

Lihat, dugannya benar kan? Mentari mendengus kasar sambil geleng-geleng kepala. Laki-laki itu sama sekali tidak membuang kesempatan. Kalau pun tidak ada, ia akan membuatnya. Mentari tidak tahu lagi harus bersikap seperti apa lagi, selain biasa.

"Cie, baper ya?"

"Enggak."

"Udah jujur aja." Benayu mendorong lengan Mentari dengan lengannya, menabraknya berulang kali dengan pelan. Sambil tersenyum menggoda. "Ngaku, kalau baper bilang. Saya seneng kok."

MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang