15

2.4K 202 13
                                    

"Ada yang diam-diam hadir, tanpa suara, tanpa pertanda lalu melahirkan sesuatu yang berbeda di antara jarak yang membentang."

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jejak-jejak kaki tercetak jelas di antara ubin. Seolah memberitahukan kepada orang-orang yang baru menginjakkan kakinya di sana bahwa sudah ada orang lain yang mendahuluinya. Hujan masih senantiasa bernyanyi, dan menyelimuti mereka dengan rasa dingin. Tak peduli bahwa orang-orang di bawahnya begitu menggigil.

Cuaca yang begitu mudah mengubah moodnya membuat payung harus sedia setiap saat. Memenuhi ruangan tas yang masih terkesan kosong. Mentari menurunkan payungnya setelah tubuhnya terlindungi. Menarik bagian payung, hingga perlahan bagian payung mulai tertutup. Pagi yang diiringi hujan, selalu enak untuk membuat dirinya malas dan memaksa tubuhnya berada di kukungan selimut. Dia bahkan harus berdebat dengan waktu ketika terus berbunyi setiap lima menit –alarmnya.

"Seharusnya bawa bekal mie rebus ini." Mentari mengecap bibirnya, membayangkan bagaimana hangatnya mie yang mengelus setiap sela mulutnya sebelum jatuh ke dalam tubuhnya yang lebih dalam. Rasanya menyenangkan dan begitu membuatnya semakin lapar.

Tubuh Mentari berbalik, memutuskan untuk segera masuk, melepaskan rasa dingin yang sejak tadi menyelimutinya. Ia melangkahkan kaki pada papan besar yang tak jauh dari tempatnya. Paku-paku kecil terpampang jelas di sebuah papan cokelat. Beberapa sudah tersi dengan payung dengan segala warna, tetesan air bahkan masih terlihat jatuh dari sana. Membuktikan bahwa sang pemilik, baru sampai di sana beberapa menit lalu.

"Buat kopi dulu, atau ke kubikel dulu ya?"

"Mendingan, kamu menyingkir dari jalan saya dulu."

Tersentak, Mentari reflek menoleh sambil mundur beberapa langkah. Berniat untuk menghindar sekalian menoleh. Sayangnya, ketika mundur kakinya salah melangkah hingga membuatnya jatuh.

"Aduh." Mentari memekik, rasa nyeri dan dingin langsung menyapanya. Dia bisa membayangkan ubin-ubin yang ia tindih sekarang tertawa bahagia karena rasa dingin yang mereka rasakan tersalurkan kepada pantatnya. Ia mengusap berulang kali, sambil menaikan pandangan. Matanya melotot, ketika melihat Angkasa berdiri dengan raut yang remeh seolah mengatakan ngapain kamu di sana? ngepel?

Nih orang nggak ada baik-baiknya sama sekali. Bantuin kek!

Mentari menekuk kakinya, perlahan bangkit. Dia bisa melihat kaki Angkasa bergerak. Dia pikir laki-laki itu menolongnya, sayangnya tidak. Laki-laki itu malah menyingkir, untuk memberikannya celah agar bisa berdiri.

Fix. Kehidupan ini nggak seindah drama korea.

"Itu mulut bisa nggak sih, bilang permisi?" Mata abunya berkilat, mengirimkan sinyal kesal pada Angkasa. Kedua kakinya berhasil berdiri tegak, meski rasa nyeri di pantatnya masih terasa.

"Salahmu yang berdiri nggak jelas di sini." Angkasa bersikap acuh. Tidak ada rasa bersalah yang terpancar di dalam diri Angkasa. Terlebih, mata cokelatnya berkilat penuh ketidak pedulian.

Dinding-dinding yang berdiri kokoh di sepanjang kantor seolah menjadi saksi kekesalan Mentari pada Angkasa. Mentari mendelik kesal. Rasa-rasanya dia ingin mengenyahkan orang semacam Angkasa ini dari muka bumi. Agar kehidupannya bisa tenang dan tidak tersulut emosi. Diam-diam ia memperhatikan Angkasa yang kini juga meletakan payung di dekatnya. Laki-laki itu jelas bukan tipe orang yang peduli. Terlepas dari penampilannya yang menawan.

MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang