41

1.3K 176 16
                                    

Benayu, benar-benar tidak menampakkan diri hari ini. Hanya pesan yang dia terima, itu pun hanya beberapa. Berbeda dari sebelumnya. Seolah-olah, laki-laki itu membiarkan dirinya tenang dan mencari jawabannya sendiri. Dia sudah tidak bisa berpikir lagi. Semakin lama kepalanya penuh.

"Kamu beneran enggak apa-apa?"

Mentari tersentak, dia mendongak dengan cepat dan menemukan Angkasa sudah ada di depannya. Tadi, dia memang diminta, lebih tepatnya diperintah agar tetap di kantor.

"Ngagetin aja," serunya sambil memasukkan kembali ponselnya.

Kebingungannya yang belum juga terjawab, membuatnya lebih hati-hati.

"Ngapain kamu suruh aku tunggu di sini?" Mentari yang masih menempelkan punggungnya di tembok melirik Angkasa. "Kamu lupa ini kantor?"

"Kita pulang samaan." Angkasa mengendikkan dagunya menyuruh Mentari untuk berjalan beriringan. Seolah tak mengerti apa yang diucapkan oleh Mentari.

Kantor sudah lumayan sepi, hanya ada beberapa orang yang ada di sana. Petugas OB salah satunya. Angkasa berjalan santai, berbeda dengan Mentari yang terus dilanda kegelisahan. Ia sesekali melihat ke arah Angkasa. Ini aneh, biasanya mereka tidak pernah jalan berdua di kantor, paling dekat di parkiran kantor.

Kalau diingat-ingat semua hal yang terjadi, mendukung apa yang sudah dibicarakan oleh Benayu dan apa yang sudah dia dengarkan, dan itu membuat hatinya menjerit, kesakitan. Dia takut kalau semua yang diucapkan oleh Benayu itu benar. Dia takut, kalau perasaannya hanya dia yang merasakannya. Perasaan menggebu, hangat, dan membuatnya berdebar.

"Kuncimu."

"Ha?"

"Kamu mikirin apa sih dari tadi?" Angkasa terlihat terganggu dengan sikap Mentari yang terkesan tidak fokus. "Kepalamu pusing?" tanyanya dengan nada rendah, nyaris berbisik.

"Enggak." Mentari menggeleng, dia tidak mau mengakui apa yang sedang dia pikirkan. "Tadi, kamu ngomong apa?" Ia memeluk kedua lengannya.

Angkasa menghela napas, ia menundukkan tubuhnya sedikit agar suaranya tak ada yang mendenar. "Kuncimu. Kamu pulang sama aku."

"Aku bisa pulang sendiri."

"Dengan muka seperti itu? Kamu sakit, dan aku enggak mau mendengar penolakan lagi. Kuncimu."

Mentari masih menggeleng, ia menolak permintaan Angkasa. Kepalanya memang masih berdenyut sakit. "Enggak."

"Tari. Kuncimu."

Gadis itu cemberut. Sepertinya dia tidak punya pilihan lain. Ia mengambil kunci di dalam tasnya, menyerahkannya pada Angkasa. "Bukannya kamu bawa mobil?"

"Sudah dibawa sama Benayu. Masuk."

Mentari kira dia akan dibawa oleh Angkasa ternyata tidak. "Kamu mau bawa aku ke mana? Ini bukan jalan rumahku." Ia menoleh ke luar jendela, menatap jalanan. Beberapa pengendara terlihat saling mengejar satu sama lain. Tak ada sahutan, Mentari menoleh.

"Kasa!"

"Kerumahku. Enggak ada orang di rumahmu, dan keadaanmu enggak bisa ditinggal sendiri."

"Aku bisa sendiri."

"Kamu lebih baik tidur, aku bangunin kalau sudah sampai."

Mentari sudah membuka mulutnya, tetapi mengatupkannya kembali ketika melihat Angkasa menunjukkan sikap yang tak mau lagi mendengarkan bantahan. Ia mengatupkan kedua bibirnya, memejamkan mata. Berharap rasa pusingnya bisa hilang, agar dia bisa pulang.

MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang