18

2.1K 201 11
                                    

"Yang kutahu, kebahagiaan itu memang sederhana. Yang kutaktahu, mengapa aku bahagia hanya karena melihat senyumanmu?"

------------------------------------------------------------------------------------------------------

Angkasa mengusap-usap hidungnya yang menggelitik. Sejak tadi, hidungnya terasa gatal, seperti ada orang yang mengusap-usap bagian dalam hidungnya. Sudah berulang kali dia ingin bersin, sayang tidak bisa. Ketika bibirnya sudah terbuka, rasa gatal itu langsung menguap kemana.

"Sebenarnya, kamu mau bawa saya kemana sih?!"

Angkasa mengalihkan sedikit pandangannya dari jalanan, menghadap Mentari yang sudah duduk dengan terpaksa –terlihat dari gestur tubuhnya dan ekspresi gadis itu- di sampingnya. Bibir gadis itu terus bergerak, menggumamkan kalimat yang hanya sedikit di dengar.

Sepertinya gadis itu sungguh kesal terhadapnya, mengingat tidak ada kata Bapak yang sering diucapkan. Bagi Angkasa itu tidak masalah, mengingat mereka memang bukan ada dikawasan kantor. Lagi pula, memang dia yang memintanya.

"Pergi." Angkasa kembali fokus dengan jalanan. Entah kenapa, dia merasa Mentari tengah menatapnya dengan tatapan membunuh. Dia tertawa pelan tanpa suara, gadis itu semakin kesal, dia tahu itu.

"Mau pergi ke mana? Tempat kan banyak?! Susah banget ya ngomong gitu doang."

"Ya pergi. Lagian saya nggak pernah nyuruh kamu buat ikut sama saya." Angkasa menoleh kembali, dengan tampang datar dan alis yang sudah naik sebelah. Bertampang angkuh yang menarik amarah Mentari.

"Kan situ yang bilang ken ... itu sudah." Mentari mengibaskan tangannya. "Sampai buat Mamak saya percaya. Sengaja ya?"

Dari sudut matanya, Angkasa bisa melihat Mentari mendelik ke arahnya sebelum membuang muka. Entah apa yang bibir gadis itu ucapkan padanya. Pundak gadis itu terlihat menegang sebelum dihempaskan pada sandaran kursi.

"Ken apa? Kentongan?" Sejujurnya Angkasa ingin mengeluarkan tawanya, tapi yang dia lakukan adalah menjaga ekspresinya seperti biasa. Sejak tadi selain hidungnya yang bermasalah, bibirnya begitu gatal ingin tersenyum. Satu hal yang barus aja Angkasa sadari, kekesalan gadis itu sungguh menghiburnya. Entah alasannya apa, tapi itu yang dia rasakan sekarang. "Kalau kamu ngomong itu yang bener."

"Saya serius!"

"Saya nggak pernah tanya kamu serius apa nggak."

Angkasa menyempatkan diri untuk menoleh ke arah Mentari ketika gadis itu tidak berbicara setelah beberapa detik terlewat. "Bukannya seharusnya kamu terima kasih ke saya, karena saya selamatkan kamu dari hal perjodohan itu. Bukan ngomel-ngomel nggak jelas seperti ini."

"Saya tekankan, saya nggak pernah mau ditolong sama kamu! Dan lagi, kamu kan yang buat semakin rumit, bilang mau kencan atau apa!"

Sudut bibir sebelah kanan Angkasa tertarik ke atas. Lagi dan lagi, Mentari membuat dia terhibur. "Kalau kamu mau keluar silakan, keluar sekarang. Saya nggak pernah maksa buat kamu duduk di sini, bersama saya di dalam mobil."

Meski Angkasa mengatakan hal itu, yang dia lakukan selanjutnya masih mengendarai mobilnya. Bergabung dengan kendaraan lain, dan tidak ada niatan untuk menepi sama sekali. Laki-laki bermata abu itu masih senantiasa menunjukan ekspresi acuhnya, seolah tidak peduli.

"Berhentiin mobilnya."

Mengacuhkan adalah hal yang dilakukan oleh Angkasa. Telinganya seolah tak berfungsi detik itu juga.

MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang