13

2.1K 194 5
                                    

"Dan pada akhirnya, aku merindu lagi."

"Haha, gila. Kamu lihat nggak sih mukanya? Absurd abis."

"Lihat dong, iya kali nggak ngelihat, lucu gitu. Lumayan ada buat bahan ketawa."

Percakapan itu menarik kepala Mentari untuk menoleh, mengikuti pergerakan dua orang wanita yang terlihat begitu heboh. Masih dengan gelas yang ada digenggamannya, dengan sedotan yang bersarang di selipan bibirnya ia terus mengarah pada dua orang itu. Dia tidak mengenal sama sekali dua orang yang kini menjadi objek pemandangannya, dia hanya mencari sesuatu yang bisa membuat rasa tidak nyaman dalam dirinya menghilang sekarang juga.

Ada alasan yang membuat dia merasa seperti itu, alasannya ada pada orang yang kini duduk berhadapan dengannya. Mentari tidak tahu lagi cara untuk mengusir Angkasa dari hadapannya, atau bahkan melarikan diri dari laki-laki itu.

Kalau dia mengingat bagaimana menjengkelkannya Angkasa, Mentari ingin mencelupkan Angkasa ke sumur. Dia sudah mengatakan bahwa dia akan pergi ke bengkel sendiri, tapi sialnya, Angkasa tidak mau memberitahukan alamatnya. Dia bisa saja menelpon, kalau ponselnya dia bawa. Sebanyak apa pun dia berusaha mendapatkan informasi, sebanyak itu lah Angkasa menunjukan sifat menyebalkan. Mentari masih mengingat ketika Ankasa menjawab pertanyaannya. Laki-laki itu menunjukkan tampang acuh tak acuh, dengan seringaian tipis yang terlihat mengejeknya.

Kenapa juga ponsel itu harus ketinggalan?! Jadinya kan aku harus terperangkap sama laki-laki rubah ini! Nyebelin!

"Lama-lama nggak bisa diputer tuh leher."

Kupingnya berkedut, seperti asahan pedang, pandangan Mentari langsung menghunus tajam ke arah Angkasa. Ia meyipitkan matanya masih memandang Angkasa. Untuk apa dia mengatakan kalimat itu? Menyumpahinya?

Mentari masih memperhatikan Angkasa yang kini terlihat tenang meminum kopinya. Laki-laki itu sungguh penipu. Dari luar terlihat begitu dingin, seperti sekarang. Angkasa meminum kopinya tanpa mempedulikannya. Cara laki-laki itu meminum kopinya begitu membuat Mentari jengah. Tangan satunya membawa kopi pada celah bibirnya, sedangkan satu tangannya berada di atas meja, kepalanya menoleh ke arah luar, seolah menikmati.

Sok ganteng 'kan?

"Ngapain kamu lihatin saya kayak gitu?" Mentari tersentak ketika kepala Angkasa mengarah padanya.Tatapan mereka beradu, dan beberapa saat, Mentari terpana. Ia menggeleng sebelum berdecih. "Ada yang salah dengan muka saya?"

Ditegakkan tubuhnya. "Bengkel itu di mana? Saya nggak mau buang-buang waktu lagi." Diletakkan gelasnya cukup kasar, hingga jusnya keluar dari cangkir, membasahi meja. Mentari tidak mempunyai waktu bermain-main dengan Angkasa seperti ini.

Tidak ada jawaban dari Angkasa, laki-laki itu hanya menarik senyumannya.

"Pak, saya serius. Saya tidak ada waktu untuk meladeni tingkah menyebalkan anda!" Perlahan suara Mentari naik, sejalan dengan emosinya yang tersulut.

"Bukan salah saya kan kamu emosi?" Angkasa mengatakan itu dengan raut wajah datar. Dengan pelan dia menyender pada kursi, menatap Mentari.

Kedua tangan Mentari terkepal. Kedua bibirnya berkatup rapat. Dari mana asal panggilan laki-laki dingin? Yang benar itu laki-laki rubah, dari luar terlihat diam tapi sebenarnya penuh dengan kelicikan.

"Saya nggak emosi kalau anda memberikan saya alamat bengkel itu!"

"Ucapan Aksa ternyata bohong ya."

MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang