8. The Hardest Thing

4.6K 575 107
                                    

Sudah satu jam lebih Jihyo termenung memandang hujan yang menetes membasahi jalanan aspal yang ada didepannya. Udara dingin tiba-tiba saja menyergap tubuhnya. Seperti menggigit seluruh persendian tubuhnya. Tangannya tergerak secara otomatis merapatkan jaket yang ia pakai.

Jihyo merutuki dirinya sendiri yang tanpa sadar berjalan-jalan hingga terlampau jauh dari wilayah apartementnya. Niat awal hanya ingin datang melihat sungai Han dari dekat, tapi entah kenapa kakinya berjalan tanpa sadar hingga ia sampai ketempat ini.

Jihyo melirik waktu yang tertera di ponselnya, ini sudah pukul 11 malam. Pantas saja jalanan saat itu sudah sepi. Toko-toko dipinggirnya sudah mulai tutup. Hanya tersisa minimarket 24 jam yang mana Jihyo berdiri saat ini.

"Apa aku terobos saja ya?" Tangannya terulur ke udara. Mencoba menangkap tetesan air hujan yang terjatuh melalui celah atap minimarket tersebut.

"Lumayan deras." Gumamnya pada diri sendiri. Hatinya ragu hendak pulang atau tidak. Dia ingin pulang, tapi hujan membuat langkahnya ragu.

Setelah menimang cukup lama, akhirnya Jihyo memutuskan untuk menerobosnya saja. Dia membenarkan posisi jaketnya. Lalu dengan cepat gadis itu berlari ditrotoar jalanan yang sudah terlihat sepi. Dia terus berlari. Tanpa memperdulikan kondisi tubuhnya yang semakin basah terkena air hujan. Sesekali kakinya menginjak genangan air hingga membuat cipratan air mengenai sepatunya yang sudah terlanjur basah.

Jihyo berhenti sejenak dibawah sebuah pohon rindang di tepian jalan. Nafasnya sedikit terengah. Dia sudah berlari sejauh itu, tapi apartement nya masih belum terlihat juga. Oh Tuhan, apa tadi ia sudah berjalan-jalan sejauh ini? Jihyo mengutuk kebiasaannya yang tanpa sadar telah membuat dirinya selalu dalam kesulitan.

Jihyo hendak kembali berlari, tapi terhenti saat merasakan ada sebuah payung hitam yang dengan tiba-tiba terulur melindungi dirinya dari tetesan hujan. Jihyo menoleh kearah samping, mencoba mencari tahu siapa yang dengan baik hati memberi keteduhan padanya. Matanya sedikit melebar saat ia melihat seorang pemuda tengah tersenyum kearahnya.

"Mau kuantar?"

******

Disinilah mereka sekarang, berjalan menyusuri jalanan berhujan dengan langkah yang teramat pelan. Berjalan dibawah payung hitam yang melindungi mereka dari derasnya air hujan yang terus menetes tanpa henti. Keduanya sama-sama terdiam. Tidak ada yang ingin memulai percakapan terlebih dahulu. Semua sibuk dengan pemikiran masing-masing.

"Bagaimana kabarmu?" Sebuah pertanyaan yang kelewat formal untuk memulai suatu percakapan, terlontar begitu saja dari pemuda bergigi kelinci tersebut.

"Baik." Jawab Jihyo singkat. Dia benci kecanggungan ini. Sebenarnya dia ingin sekali berbicara banyak, sekedar untuk berbasa-basi atau membahas hal konyol lainnya. Tapi apa daya, mulutnya terkatup rapat. Suaranya terasa tercekat setiap kali ia harus berhadapan dengan Jungkook.

"Sedang apa kau disini malam-malam?" Setelah menimbang cukup lama, akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulut Jihyo. Ok, bisa dibilang ini sebuah kemajuan yang terbilang cukup lumayan diantara mereka.

"Aku hanya sekedar lewat dan tanpa sengaja aku melihat seorang gadis dengan bodohnya berlari ditengah hujan deras tanpa memakai mantel ataupun payung yang melindunginya. Kenapa kau bisa sebodoh itu Jihyo?" Ucap pemuda itu sambil terkekeh.

Jihyo tersenyum samar. Ya, setidaknya kini aura canggung diantara keduanya sedikit lebih berkurang. "Aku hanya berpikir untuk cepat sampai dirumah. Jadi tanpa pikir panjang, aku memilih untuk berlari saja." Balas Jihyo.

Jungkook mengangguk. Matanya mengedar tidak jelas. Mulutnya sedikit terbuka dan bergumam tidak jelas. Seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tertahan diujung lidahnya.

Spaces Between Us - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang