"Ayo naik!"
"Kemana?"
"Di belakang."
"Bukan begitu, mau kemana?"
"Naik aja dulu."
"Kalau tidak mau?""Maka aku akan tersenyum,"
Itu malah membuatku senang dan menyuruhku mengalah. Kok bisa? Hukum alam!
Dan kamu tahu? Di halaman yang luas itu aku hanya dibawa muter-muter. Tanpa malu sedikit pun, ia cekikikan sendiri. Beberapa orang yang melihat malah disapa olehnya. Jadi, setelah ini, aku harus menyiapkan tempat untuk meletakkan mukaku.
"Ini ngapain sih?"
"Biar kamu mikir yang aneh-aneh."
"Udah, sukses!""Bagus, nggak sia–sia aku belajar,"
"Aneh,"
"Yang ngomong," ia ketawa."Iya–iya, yang puas ketawanya, sebelum dilarang,"
"Hm,"
"Coba berpikir sinkronik, sepeda yang hanya beberapa kilo ini, kok bisa menampung beban yang lebih banyak dari kapasitasnya ya?"
"Sederhana. Segala sesuatu diciptakan karena memiliki kekuatan."
"Gitu aja?" ia mengangguk. "Berarti, manusia itu keren, punya beban yang tidak kelihatan, dan orang lain pun tidak bisa tahu seberapa berat beban itu."
"Karena fase peduli manusia dimulai saat mereka penasaran kemudian berakhir ketika nggak ada daya tarik lagi,"
"Jahat ya,"
"Hukum alam!"
Beberapa menit kami terdiam. Mungkin membenarkan pembicaraan ngelantur barusan atau pura–pura yakin bahwa itu benar. Bagaimana jika aku hanya berada pada fase penasaran saja, hanya mau mengenalnya tanpa mau mengikuti kisah hidupnya? Ahh lucu. Aku yang tiba–tiba terpesona dan pecaya diri bahwa dia nyata, masa mau berhenti dan berbalik arah?
Kemarin, baru saja gerimis membawaku padanya, gerimis yang sudah keberapa kalinya. Dia datang bersama Ratih ke kelas, katanya mau berkenalan denganku. Tapi kami tidak bertemu, jadilah gerimis membawaku bersamanya lagi.
"Ngomong–ngomong, nggak capek?"
"Kalo dirasain ya berat."
"Berhenti aja kalau gitu!" Dia menepikan sepedanya di bawah pohon besar.
"Aku nggak bilang kamu berisi loh. Jangan marah!" Aku langsung turun dan menyejajarkan tubuhku di sampingnya."Jadi, kamu berhenti karena itu?"
"Iya. Aku pikir kamu marah karena menyinggung berat badan."
"Ya enggaklah. Aku nyuruh berhenti karena aku pikir kamu akan capek."
"Hah?"
"Iya, aku malah nggak kepikiran berat badan sama sekali."
Dia menggaruk kepalanya dan tersenyum.
"Padahal baru putaran kelima."
Dia menatapku, aku memukul lirih lengannya.
"Nggak boleh sombong."Matanya masih tertuju padaku. "Beberapa orang mengaku senang karena mereka senang. Beberapa orang lagi mengaku senang karena mereka sedih."
"Kenapa?"
"Matamu." Titik–titik gerimis mulai turun satu persatu. Bersamaan dengan batinku yang nyaris merosot ke tanah, perasaanku gemetar. Sebagus apa pun aku menjelaskannya, kamu tidak akan paham.
"Ada bagian yang tidak kutahu, hilang, saat matamu terekam di otakku. Ketika pertama kali kutangkap sesuatu dari matamu, rasanya sulit tidak mencari kamu. Sulit untuk pura–pura tidur supaya kamu merasa nyaman. Tapi terimakasih, dengan senang hati kamu mau menghabiskan waktu bersamaku sore ini—"
"Bress..."
"Ke sana!"
Sempurna. Perasaan yang belum kutata ini harus ikut dengan genggaman tangannya. Gerimis tidak lagi menyertai pertemuan kami yang kurasa senyap. Tidak sungkan, gerimis seakan merayakannya dengan mengundang hujan. Aku harap, ia hanya sekadar mengungkapkan perasaan senangnya bisa bertemu denganku. Menepi sebentar di teras toko yang tutup.
Jika boleh mengaku, aku juga takut terbawa arus gelombang yang dipantulkan oleh sorotan cahaya matanya. Aku terlanjur menyukai matanya yang sangat damai.
"Mau ngapain?"
"Emang tau aku pengen kemana?"
"Sekarang masih hujan, Kak!"
"Iya, aku tahu." Dia mengambil mantel di dalam tasnya, kemudian memakaikannya padaku. Sudah, berkali–kali aku bilang tidak usah tapi dia memaksa dan membuatku menurut.
Ditatap lagi mataku, "Setelah aku pikir, tidak akan ada waktu untuk membocengmu lagi kalau tidak sekarang,"
"Tapi kan hujan, atau aku saja ya yang bonceng?"
Dia menggeleng keras. "Nggak, kamu lebih cocok kubonceng daripada membonceng. Kalau tingkat ketampananku hilang karena dibonceng perempuan cantik gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SENANDIA
Short Story[CERITA PENDEK] Tokoh perempuan dalam cerita ini suka sekali dengan pekerjaan melarikan diri. Dalam bentuk kecil maupun besar, yang tentunya berawal dari keterpaksaan hatinya menerima kenyataan. Kadang terlalu meremehkan, kadang juga terjebak dalam...