Sesulit Apa?

12 7 3
                                    

Lambaian tanganku menyisakan kehampaan. Ibu dan Bapak akan menaiki pesawat. Bapak merangkul pundak Ibu dan menyeret koper, Ibu pun membawa tas jinjing dengan kedua tangannya. Mereka telah sampai di pintu keberangkatan, pandangan yang hangat dari mereka, salam perpisahan terakhir untuk pertemuan kali ini. Sampai jumpa tiga bulan lagi, Ibu, Bapak, aku akan segera pulang.

Setelah seminggu menginap di sini, mereka memutuskan kembali. Rumah dan peternakan yang mereka tinggal tidak bisa lama–lama dititipkan adik Bapak terus–menerus, takut merepotkan.

“Iya, Pak, bisa. Baik, saya segera ke sana.” Pak Bos menyuruhku segera kembali. Baru saja mereka kembali, kesibukan sudah mulai mendatangi lagi.

Jarak bandara dengan kantor lumayan jauh, kira–kira 30 menit, tanpa macet, tanpa kendala. Aku jadi kepikiran Tante Nia (diam–diam aku memanggilnya begitu), karena semenjak hari itu tidak ada kabar lagi darinya. Atau memang, Ibu menyembunyikan kabar dari mereka. Janji Tante Nia yang katanya mau mampir ke apartemenku juga belum terpenuhi. Atau mungkin juga, Ibu tidak memberitahuku karena aku sedang bekerja. Ah, tidak tahu. Awalnya, ketika bertemu dengan Tante Nia dan ia memilih bicara dengan Ibu lalu mengabaikanku, aku tidak terlalu suka dengannya, aku hanya sebatas dibuat manis diawal kemudian abai diakhir. Namun setelah bicara banyak hal sore itu, aku bersyukur Ibu punya sahabat seperti Tante Nia, ia bisa menempatkan diri dalam sebuah keadaan, tahu bagaimana cara untukku langsung memaafkan ide gila yang mereka lakukan. Aku seperti menemukan seorang teman dalam diri Tante Nia, dan Ibu menjadi Ibu kami berdua.

Disela–sela pikiranku yang mau kemana–mana, kudengar ledakan kecil yang membuat mobilku bergetar. Aku mulai was–was jika ledakan itu berasal dari ban mobil yang kukendarai. Tapi semakin kukendarai, kurasa ada yang salah dengan mobil ini. Aku turun untuk memeriksa. Benar, banku bocor. Jalanan di sini tidak terlalu ramai, aku berada di daerah pemukiman dengan sawah yang masih terbentang luas. Aku berjalan menuju salah satu rumah warga yang tidak jauh dari jangkauan mobil, kebetulan ada beberapa orang yang sedang berkumpul. Pak Bos kukirimi pesan bahwa aku akan datang terlambat, apa pun yang terjadi aku tidak bisa memaksakan keadaan dan tidak mau mengambil resiko buruk yang akan terjadi. Jam tanganku menunjukkan pukul sepuluh. Masih terlalu pagi untuk meminta bantuan seperti ini. Biarlah, dengan seperti ini aku bisa menikmati udara sawah yang menakjubkan. Haha.

“Biar saya panggilkan Pak Martin saja, Ayuk (sebutan kakak untuk orang Palembang)!” Anak laki–laki dari Bu Wati—yang sempat menawarkan aku makan dan tempat berteduh—lari entah ke mana, sepertinya mau membawakan tukang bengkel kemari. Hampir sepuluh menit berselang, bocah itu belum juga kembali. Bu Wati melihat kegelisahanku. Bagaimanapun, aku hanyalah karyawan biasa, baru dua tahun bekerja sudah seenak jidat, apa suara karyawan yang lain nanti.

“Kalau kamu memang harus bekerja sekarang, kamu bisa berangkat sama Lilis. Tapi, mungkin cuma sampai di halte aja. Lilis belum punya SIM, takut ketilang malah macet nanti. Gimana? Tidak terlalu jauh ‘kan kantor kamu dengan halte? Nanti sepulang kerja, kamu ke sini lagi ambil mobilnya atau biar Pak Martin aja deh yang ngantar. Tenang aja, nggak akan aku biarkan tambahan ongkosnya!” Benar juga, semua tawaran Bu Wati bagus. Tapi, masa iya harus begitu, ‘kan nggak enak! Merepotkan sekali...

Belum juga selesai berpikir, Bu Wati sudah memanggil Lilis dan segera mengantarku menuju halte. Ya, mungkin ini tidak masalah. Sebelum benar–benar pergi, aku dan Bu Wati saling tukar nomor telepon. Dan berangkatlah aku menuju halte, dibonceng dengan sepeda motor.

*****

“Terimakasih banyak, Lis, tumpangannya.”
“Iya, Ras. Hati–hati ya, utamakan keselamatan, biar bisa main ke rumah lagi kapan–kapan.”
“Wah, siap! Maaf merepotkan,” aku mengulurkan tangan.
“Santai, aku duluan ya, Ras. Da...” aku hanya mengangguk.

Tidak pernah mampir ke halte, sekali mampir malah penuh semua tempatnya. Baru tahu kalau halte bisa seramai ini. Padahal, setiap kerja juga lewat sini, tapi tidak pernah memperhatikan halte. Aku menyandarkan bahu kiriku pada tiang halte. Untungnya masih pagi, matahari belum panas–panasnya memanasi.

“Mas, geser, jangan menutupi pandangan saya, saya jadi nggak bisa lihat kalau ada bis yang lewat.”
“Iya, ini saya juga butuh tempat.”

Beberapa orang terdengar desak–desakan memperebutkan posisi berdiri mereka. Astaga! aku baru menyadari sesuatu, jika yang mengantre di halte ini saja ada lebih dari sepuluh orang, berarti kesempatanku mendapatkan angkutan umum tinggal sedikit, maka aku juga harus merebut garis awal duluan. Tidak, aku bukannya ikut berdesakan di depan halte seperti orang–orang, aku hanya melangkah maju sampai menyentuh pinggir trotoar.

“Permisi, Ayuk!” laki–laki seumuran denganku menyapa, ia telah berdiri di samping kiriku, tingginya hanya sampai setelingaku. Aku menoleh sekilas kemudian mengabaikan. Aku tidak mau diajak main–main sekarang, aku hanya ingin cepat sampai di kantor atau memilih dimarahi saja oleh Pak Bos.
“Mau kemana, kakak?” logat orang ini seperti dari daerah timur Indonesia, tapi aku juga ragu  tebakanku benar. “Di sini sedang panas, kenapa tidak—”
“Halo, Pak, maaf ada masalah. Iya, nanti saja saya cerita, sekarang saya belum bisa ke kantor, nggak ada kendaraan yang bisa mengantar saya. Oh, Pak Bos ‘kan sudah tau saya tidak suka merepotkan ojek online. Iya, tidak apa, Pak. Baik. Iya, Pak, terimakasih!”
Aku merasa laki–laki tadi menyerah berlama–lama di sampingku. Tapi, kudengar ia malah berbisik–bisik dengan temannya. “Kamu bicara sendiri sajalah dengan kakak perempuan itu, kau ‘kan sudah kenal dengannya, kalau dengan aku mana—”

Aku beralih tatapan, kupikir laki–laki tadi benar–benar membicarakanku. Tapi, yang kulihat malah melihatku, maksudku, ada sesuatu yang aneh dari penglihatanku. Aku segera menghadap ke depan lagi, mungkin aku salah lihat. Aku menarik napas panjang dan melepaskannya. Berulang. Aku merasa yang kulihat tadi adalah nyata, laki–laki tadi berbicara dengan temannya. Apa sebaiknya aku pergi saja ya dari sini? Rasanya, seperti mendapatkan fobia baru, saat ketakutanmu terasa menerus membayangi, mengikuti, sebuah ilusi yang tidak menyenangkan.

“Sesulit apa, sih, Ras, rasanya?”
Kau sedang bermain–main denganku, bukan, semesta? Kepuasanmu terletak pada kesakitan, bukan? Tega sekali kau ingin membunuh perasaanku lagi, yang bahkan hanya menyisakan kepedihan, dan sisa–sisa belulang pesakitan.

“Yang hilang akan tergantikan dengan yang lebih bermakna. Yang patah juga dapat tumbuh kembali dengan menanamnya. Jika kamu sedang dalam keadaan sakit, berhentilah! Tidak usah memikirkan siapa–siapa. Kamu bisa saja melawan dan menutup–nutupi perasaan, tapi tidak dengan raga yang mati–matian berdiri menahanmu agar tidak terjatuh. Saya bukan dia yang menyakitimu, Laras. Hanya karena nama kami sama, bukan berarti kamu harus memperlakukan saya sama dengannya. Mungkin, benar saya tidak tau apa yang kamu rasakan, karena kita memang manusia dengan diri masing–masing. Saya hanya mencoba memahami kamu, tapi kamu bersikap egois pada saya.” Dia berhenti sebentar. Entah kenapa, bulu kudukku berdiri, aku merasa takut menghadapi dia yang memang bukan dia sebenarnya. Dia yang menjadi berbeda dari sebelumnya. Aku merasa tidak pantas menghadapinya, apalagi sudah siap menghadapinya. Belum. Bukan sekarang saatnya.

“Jika kamu terus melawan rasa sakit dan ketakutan itu, kamu juga akan terus dibayangi dan malah menyulitkan. Rasa sakit dan ketakutan itu wajar. Hanya saja, cara menanggapinya selalu salah. Kamu jangan mau dikurung oleh rasa sakit dan ketakutan itu, Laras! Lawan!”

SENANDIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang