Sebentar,

46 12 10
                                    

"Kamu suka sama Lola, ya?" Dia ketawa, ngakak pula. Dibagian mana sih lucunya?
"Aku serius, ah."
"Kamu kok bisa mikir gitu, kenapa?"
"Iya apa enggak?"
"Apa?" Aku berhenti berkata, berkali-kali kuhembuskan napas tapi tidak kasar. Aku memalingkan wajahku ke sepatuku yang tiba-tiba menarik. Gerimis kemana sih kok tidak ingin turun, ia tidak berpihak padaku lagi, ya?

"Kok diem?" Aku tidak menanggapi, perasaan dan otakku tiba-tiba ruwet. Harusnya tidak ada yang salah, tapi perasaanku resah. Terasa menekan hal sepele yang membuatnya sesak.

"Ceritalah kalo ada masalah?"

Aku memandangnya ragu, dia masih bisa tersenyum. Sebenarnya ini, dia bodoh atau belum belajar rumus kepekaan?

Tuhan... Aku tidak bisa kehilangan senyuman indahnya ini, sedetik pun aku tidak mau melupakannya. Tapi aku kecewa, memangnya kita siapa? Dekat tidak, mengenal tidak, tapi bermusuhan di dalam hati. "Akan ada masanya, manusia cemburu pada ketidakpastian yang menyeleweng dari angan–angan."

"Jadi begini, menurut surveiku beberapa detik yang lalu,"
"Ahh gitu, bener ya kalian deket. Banget," aku berlenggang pergi. Entah mengapa, aku meneteskan air mata, rasa kesalku padanya tidak bisa lagi kubendung. Dia tidak menahanku pergi bahkan tidak menyusulku. Aku pulang dengan air mata, yang sebisanya aku tahan, walaupun tetap ingin keluar.

Hari ini Sabtu, hari kesukaanku. Aku tidak mengerti, hari ini malah menimbulkan tangisan untukku. Hanya karena sejak seminggu ini aku selalu mendengar dan menerawang Lola yang sedang dekat dengannya. Mengharuskanku berpikir seperti anak kecil.

Saat itu, aku duduk di taman kampus, Lola dan temannya duduk tidak jauh dari tempatku. Lalu aku mendengar Lola bercerita kepada temannya:

"Orang humoris itu lucu ya? Hehe," kata Lola.
"Ya iyalah, namanya aja humoris."

"Dia itu. Ah, beda deh sama yang lain. Aku aja suka baper kalau lagi sama dia. Contohnya dia pernah bilang gini, 'kamu mau bakso nggak?' aku jawab, 'aku tadi udah makan', dia jawab lagi 'jangan gitu, orang lebih suka lihat wajah daripada perut' ouhhh, bisa aja deh dia itu."
Lola dan teman-temannya pada histeris semua denger cerita Lola.

Maaf ya sebelumnya, ini aku tidak berniat mendengarkan pembicaraan mereka, tapi berada di sampingnya membuatku bisa menangkap gelombang suara mereka. Aku sebenarnya setuju dengan kalian bahwa hal yang diceritakan tersebut tidak ada unsur bapernya sama sekali dan kenapa Lola mengatakan hal itu baper, aku tidak tahu.

Waktu mencermati perkataan Lola itu, entah naluri darimana pikiranku langsung tertuju pada Dia, cocok nggak cocok pokoknya itu Dia. Detik itu juga, tubuhku langsung gelisah. Kemudian ketidaksengajaan berikutnya menambah keyakinanku pada hal tersebut.

"Ya ampun, aku dibaperi lagi kemarin. Dia selalu bisa aja buat hatiku deg–degan." Lola membuka obrolan mereka. Bisa kalian tebak ini tidak akan ada unsur bapernya sama sekali.
Aku tidak bisa mendengar suara teman-teman Lola, karena mereka tidak banyak komentar dan suaranya sangat pelan. Mungkin, mereka berpura–pura ikut senang kali ya untuk Lola.

"Tapi ini di chat. Awalnya kan aku tanya soal skripsiku, terus dia jawab 'jadi begini, menurut surveiku beberapa detik yang lalu seekor burung tidak bisa terbang kalau tidak punya sayap, jadi bagian yang itu sudah betul sekali'." Kali ini aku mendengar gelak tawa diantara mereka. Seharusnya, teman–temannya bilang aja bahwa Lola sedang tidak sehat!

Dan begitulah, cerita Lola sama persis seperti kalimat yang baru saja dia katakan. Selesai, hari ini dengan gamblang aku memecahkan masalah perasaankusendiri.    

SENANDIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang