Rencana, Kembali, dan Pergi

6 2 0
                                    

Ponsel tidak berhenti berdering. Saraf–saraf mataku terasa sukar membuka. Sekujur tubuhku terasa kaku. Entah seperti apa keadaanku saat itu. Saat sadarku masih seperempat bagian, aku mendengar kembali suara kebisingan. Keramaian kendaraan. Ramainya jalan seperti biasanya. Kupaksa tubuh kaku ini bergerak. Jika tidak segera kusadari sesuatu, aku yakin telah melupakan sesuatu. Dan akhirnya, dengan penuh keterpaksaan, kuangkat kepalaku dan memijitnya sebentar. Meja makan? Mataku membulat sempurna, memperhatikan ruangan sekitar membuatku berpikir ulang. Kejadian mengejutkan itu hanya mimpi? Tidak pernah kulakukan dan tidak pernah terjadi? Astaga... Sekaget itu mengingatnya.

Lebih terkejut lagi ketika tiba–tiba Sandi mengirimkan sederet pesan mengerikan, setidaknya bagiku. Beberapa hari ini ia meyakinkanku untuk tidak berpikiran “mantan” ketika Sandi menghubungi. Cukup sulit menerima pernyataan itu sebenarnya. Mantan apanya? Sandi tak peduli memanggilnya demikian, karena katanya tidak ada sebutan yang cocok untuknya selain “mantan”. Bahkan, ia berkali–kali menegaskan dengan setegas–tegasnya jika manusia itu adalah seorang “mantan”. Baiklah, cukup.

Dan karena sihir apa, entah bagaimana caranya, setelah melalui perdebatan hebat dan proses yang cukup mengkhawatirkan, akhirnya aku mau mencoba terapi dengan Sandi. Tidak tahu makna terapi yang sesungguhnya, tetapi kutegaskan pada Sandi bahwa terapi yang akan aku jalani bukan karena aku orang sakit melainkan butuh pertolongan gawat darurat sistem kerja semalam. Bah! Terserah itu lelucon atau bukan nyatanya Sandi terpingkal–pingkal menanggapinya guyonan. Aku hanya ingin normal berteman dengan Sandi tanpa mengait–ngaitkan Sandi dengan yang satunya itu. Meskipun demikian, aku hanya enggan menyebutkan namanya, yang dulu pernah begitu dipuja–puja kaum rendahan, tak tahu malu.

Kau bisa menebak aku ada dimana sekarang? Tanpa petunjuk, arahan, tapi terdapat kejutan. Dan aku begitu yakin kau tidak bisa menebaknya karena hanya Sandi yang mengetahui tempat ini dan akhirnya aku merasa tidak mengerti mengapa dibawa kemari.

“Maaf kepanasan.” Sandi menghampiriku setelah pergi entah kemana.
Aku tersenyum tipis, “Udah pernah. Lagian mataharinya masih sehat.”
“Sekarang berbeda, kamu punya tempat sendiri. Nggak perlu capek berdiri lagi.” Sandi tersenyum, ia memilih berjongkok di sampingku. Kami ada di halte, seperti saat itu. Bedanya, tidak ada teman Sandi dengan kelakuan anehnya yang mau disuruh mengajakku berbicara. Sekarang, aku disediakan tempat duduk plastik, tidak tahu bagaimana tanggapan orang lain. Apalagi petugas keliling nanti. Sayangnya, Sandi tidak menyediakan kursi untuk dirinya sendiri. Karena itu aku tidak tahan untuk duduk dan membiarkan Sandi malah jongkok. Demi apa pun, ini memalukan. Tapi Sandi juga mati–matian tidak mengizinkanku berdiri.
“Terus kapan kamu izinin aku berdiri? Malu tau dilihatin orang dari tadi.” Kakiku terus bergerak naik turun berjinjit, bimbang, tidak nyaman dengan situasi seperti ini.
Sandi berdiri, “Saya sudah memikirkan rencana ini semenjak kamu caci maki saya di parkiran waktu itu. Sebenarnya pun saya takut, jika rencana ini adalah rencana klise. Tapi karena akhirnya kamu ikut, saya optimis aja supaya kamu bisa sehat—maksudnya, bisa terbiasa dengan saya meskipun kamu akan terus teringat dengan nama saya.”
“Tapi kan—”
“Kamu malu dengan penampilan saya sekarang? Saya nggak lagi pakai jas atau kemeja atau dasi saat masih kerja. Pakaian saya bebas lho, Laras. Apa pakaian saya bau? Hoodie saya terlihat jelek, ya? Celana jin saya juga lusuh? Apa yang—”

Aku akhirnya berdiri. Baru hari ini bertemu, ia kembali cerewet lagi. Ia pura–pura lupa keadaan atau memang memancingku untuk mengakuinya seperti aktor dalam film yang terlihat keren dengan pakaiannya sekarang?

“Kenapa, Laras? Kamu ‘kan sudah janji nggak akan berdiri selama saya belum memberi aba–aba. Katanya kamu setuju, tapi sekarang sudah berdiri?” Nah, belum juga aku berbicara, sudah ngomel lagi... yang butuh diterapi itu sebenarnya siapa, sih?
“Kamu duduk!” Aku memindahkan tubuh Sandi agar bertukar posisi denganku. Ia tidak terima, tapi juga tidak bisa melawanku, entah bagaimana itu terjadi. Tepat ketika Sandi sempurna duduk dan aku bersiap menempati posisiku, ia menarikku ke pangkuannya. Aku terkesiap beberapa saat, dan jantungku tiba–tiba befungsi tidak semestinya. Aku yang diperlakukan secepat itu, langsung memberontak bingung, karena ketakutan dengan apa yang sebenarnya terjadi, atau mungkin menghindari rasa malu sesaat itu, aku menggerak–gerakkan kedua tangan dan kakiku sehingga akhirnya aku terduduk di lantai dengan hentakan keras. Aku meringis kesakitan. Disaat bersamaan, pipiku terasa panas sekali, dan entah ini rasa terkejut karena jatuh atau bukan, jantungku terus–menerus gemetar tak keruan. Aku bingung,  ramainya kendaraan pun tidak lagi bisa tertangkap oleh telingaku. Aku merasa sendirian, dan mungkin alam semesta memang sedang berhenti? Wah, aku ingin tertawa sekarang!!!!

“Laras? Laras... Jangan diam saja, ayo bicara. Bagian mana yang sakit? Otak kamu nggak membentur lantai kan?”
Wajah teduh Sandi menarik perhatianku sesaat. Ia tidak mungkin berniat macam-macam denganku. Kondisiku barusan  hanya refleksi dari keadaan yang tidak pernah terjadi padaku. Diperlakukan seperti itu membuatku sedikit gugup dan tentu saja... memalukan.
Mungkin, aku sudah jahat padanya belakangan ini. Ya, kutahu tak sepenuhnya salah, tetapi memperhatikannya seperti ini membuatku berpikir banyak hal. Sandi merupakan teman. Sandi seperti menjadi saudara jauh yang tidak pernah kukenal. Sandi bukanlah monster. Bahkan, Senandia sendiri adalah manusia seperti kami. Aku rasa, kejadian di rumah Mama Nia itu juga refleksi dari perasaanku, dan tubuhku menanggapinya terlalu berlebihan. Dua tahun belakangan ini seharusnya aku cukup menyadari bahwa Senandia tidak berarti apa–apa. Ia jarang berkunjung pada mimpi–mimpiku. Tidak ada peristiwa yang bisa membuatku kembali mengingatnya. Sepertinya, aku harus kembali pada ketidakpedulian tentang perasaanku yang sudah tidak ada lagi nama Senandia.

Iya, memang, nama Senandia sangat indah dan tidak pantas untuk dilupakan. Tetapi yang indah dan tidak seharusnya dilupakan, mengapa malah mengecewakan?

“Ya, itu dia jawabannya. Aku sudah menemukannya, Sandi. Aku sudah tahu, aku mengerti bagaimana keadaanku sekarang.” Aku berdiri dengan perasaan sangat senang. Entah seperti mendapat kejutan apa, aku merasa kembali menemukan perasaanku yang sesungguhnya. Perasaan yang sudah lama terbelenggu oleh keadaan tidak berarti ini. Aku sudah bebas!

“Laras, kepala kamu nggak kebentur ‘kan tadi? Kalau kamu sakit—eh, apa kita perlu ke rumah sakit aja sekarang?”
Senyumku langsung luntur. “Kamu mau bilang aku gila, San? Padahal aku mau berterimakasih tadi, nggak jadi! Udah, ah, aku mau pulang.”
“Eh, sebentar, kamu nggak mau kasih tau saya? Laras...” Ia akhirnya mendapatkan tanganku setelah sengaja aku tinggal. “Padahal saya udah senang kamu nggak marah lagi, apa hobi kamu sekarang suka marah sama saya, ya?”
“Nggak, nggak tau. Aku juga bingung, kenapa ya aku seperti ini?”
“Jangan bercanda, Laras!” Sandi seperti ingin menyerah menemaniku. Tapi aku tidak sedang bercanda, aku sungguh tidak mengerti kenapa selalu ingin pergi, disaat kondisi kesal, marah, kecewa, bahkan saat senang seperti sekarang ini.
“Kalau aku senyum seperti ini, apa kamu tetep bilang aku sedang marah?” Aku menyilangkan kedua tangan.
“Nggak ngerti lagi sama kamu, Ras. Susah buat mengerti.”
“Karena aku nggak pernah minta.”

“Laras! Sebagai hukuman atas kebingungan saya hari ini, kamu harus temenin saya ngobrol.”
“Bukannya dari tadi kita udah bicara banyak hal, ya? Masih kurang, San? Astaga, pantesan kamu cerewet sekali, sukanya ngobrol. Nggak salah, sih!”
“Bisa–bisa aku tutup mulut kamu, Laras. Udah, diam aja sampai tiba di tujuan.” Sandi menyeretku lagi menuju mobilnya. Ia seperti marah. Entah marah sungguhan atau dibuat–buat. Tapi, lucu juga, sudah lama aku tidak mengganggu orang. Apalagi ini Sandi, laki–laki yang cerewetnya keren.

Sandi benar–benar tidak mengubah ekspresinya selama di perjalanan. Ia hanya fokus menyetir dan seolah–olah aku telah melakukan kesalahan yang sangat besar. Seolah–olah, Sandi ingin membawaku pada tempat hukuman. Harapanku, sih, Sandi mampir ke tempat makan. Aku sangat lapar. Bagaimana mungkin, tiba–tiba aku langsung meminta Sandi membelokkan mobilnya. Yang ada, Sandi akan semakin marah–marah. Orang marah ‘kan tidak pernah menyenangkan.

“Kok nggak sampai–sampai, San? Lupa jalan, ya?” Padahal masih sepuluh menit perjalanan, lagi–lagi mulutku lupa keadaan. Aku lapar, San, lapar. Aku berharap Sandi menjawab, tapi ia hanya melirik dengan tatapan mengerikan. Benda tajam apa pun bahkan kalah tajam dengan wajah Sandi sekarang.

Hening lagi. “San...” ia tidak merespon. “Sandi, umur kamu berapa, sih?”

“Kenapa bertanya?” Yes, akhirnya ada tanggapan.

"Pengen tau, siapa yang paling tua diantara kita.” Jawaban ngelantur dari mulutku ini, mungkin karena perutku tidak kunjung mendapat asupan. Sumpah, aku tidak berniat apa–apa.
Ia melirik kearahku dengan tatapan yang berbeda. Menghela napas, dan menoleh ke arahku sebentar. “Saya dua tahun lebih tua dari kamu.”
“APA?” spontan, aku teriak. Tidak kusangka, Sandi benar–benar sudah tua. Kenapa aku bisa tertipu dengan wajahnya.
“Kenapa?” Ia akhirnya tertawa.
Aku malah bertambah kesal. “Kamu pasti tau alasannya.”
“Makanya olahraga, jangan cuma berpikir masalah cinta. Coba kamu hitung, berapa banyak waktu yang terbuang untuk meratapi kesedihan? Banyak ‘kan?”
“Bilang aja ke intinya, kalau kamu awet muda, dan aku kelihatan banget tuanya. Gitu ‘kan inti kalimat kamu barusan?”
“Itu ‘kan pendapat kamu.”
“Iya-iya, yang cerewetnya kembali lagi.”

*

SENANDIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang