Kenyataan

3 1 0
                                    

Begitulah bulan–bulan selanjutnya berlangsung. Sandi sudah resmi menjadi temanku. Satu–satunya orang yang “mau” diganggu dan mengganggu. Entahlah, mungkin aku baru menyadari jika memiliki teman yang dikenal, semuanya jadi serba menyenangkan. Sandi menyenangkan, kehadirannya memberikan peluang untukku merasakan kebersamaan dengan seorang kakak.

Aku jadi ingat, Sandi pernah mengatakan alasan mengapa harus halte yang dipilihnya untuk acara terapi yang sukses itu. Sandi tidak menyukai polusi, ia ingin membantu pemerintah untuk mengurangi polusi yang diakibatkan gas monoksida. Maka sejak itu, Sandi tidak pernah mengendarai mobil ataupun motor untuk pergi bekerja. Ia memilih naik bus, selain untuk membantu perekonomian masyakat, Sandi bisa mengenal banyak orang yang mayoritas sangat ramah. Juga, teman laki–lakinya yang pernah menggangguku saat itu. Aku lupa siapa namanya, yang jelas saat itu, Sandi menyuruh temannya itu untuk berbicara denganku, siapa tahu apa yang ingin Sandi sampaikan bisa tersampaikan tanpa harus Sandi ucapkan secara langsung. Tapi gagal, karena aku sudah menyadari keadaan terlebih dahulu. Dan, akhirnya Sandi sendiri yang mengucapkan. Geli juga mengingat hal itu lagi.

Rumah Ibu dan Bapak sudah banyak berubah. Yah, meskipun kesan Jawanya masih ada, tapi setidaknya rumah ini tidak lagi terlihat kuno. Banyak renovasi warna. Dan di depan rumah, tepatnya di pinggir jalan, Bapak membangun sebuah tempat duduk seperti di taman–taman, lengkap dengan lampu tunggalnya. Rumput–rumput setinggi lima belas senti juga masih dibiarkan tumbuh. Jalanan di depan rumah ini pun tidak berubah, masih selebar satu setengah meter dan belum diberi aspal. Masih tanah datar yang tidak menyulitkan kendaraan lewat atau pun pejalan kaki yang tidak perlu mengkhawatirkan debu. Kurasa, masih seperti keadaan desa yang asri. Semak–semak yang masih mengelilingi pagar dari kayu dan batu–batu kecil yang masih ada dimana–mana.

Menjelang malam, setelah aku berbelanja bahan makanan di warung, aku menyempatkan duduk di kursi taman yang Bapak tempatkan. Meskipun sepi, ditemani dengan suara hewan yang tidak terlalu terdengar, aku bisa menyaksikan langit dengan hiasan–hiasannya yang indah. Aku tidak pernah menyesal telah pulang. Keadaan di sini memang tidak pernah berubah, tapi keadaanku sudah berubah. Perasaanku sudah lapang, tidak ada beban yang menguras hati dan pikiranku lagi. Hilang, seluruh kenyataan itu kubiarkan lepas selepas–lepasnya. Kepulangan kali ini sangat istimewa. Diam–diam aku memejamkan mata, detik ini, aku merasa terbebas dari masa lalu. Selamat tinggal...

“Hai.” Sapaan itu menyambutku tepat ketika mataku terbuka.
“Kok Sandi bisa di sini? Sejak kapan? Sendirian?” Aku terkejut sekaligus bingung.
Sandi naik untuk duduk di atas pagar kayu di depanku. “Orang tua kamu nggak bilang? Sebuah kejutan?” ia tersenyum.
“Ayo bicara di dalam, aku bingung harus gimana.”
Aku sudah berdiri, namun Sandi melarangnya. Ia menyuruhku duduk lagi, “Nanti aja, saya mau bicara di sini. Pemandangannya enak. Semua pertanyaanmu, nanti saja jawabanya ya, ada hal yang lebih penting...”

Sandi terlihat lesu sekali, jika ia perempuan, mungkin ia sudah menangis. Kenapa dia memangnya?
“Ada yang terjadi, San? Yang kulihat dari kamu sekarang, kok sedih?”

“Dijodohin itu enak nggak, sih, Ras?” Sandi memain–mainkan tangannya.
“Kamu dijodohin?” Wow, ini kejutan yang luar biasa. Aku bahkan tidak bisa menanggapi apa–apa.

“Papa bilang, saya lama cari jodohnya. Iya, wajah saya banyak yang ngincer. Tapi hati saya nggak pernah. Papa dan Mama akhirnya setuju buat jodohin saya.”
“Tunggu dulu, San. Apa kamu kemari karena melarikan diri?”
Sandi menampilkan wajah yang menunjukkan kata “iya”.

“Astaga, Sandi. Pantesan kamu nggak bawa apa–apa kemari.”
“Eh, soal itu, saya sudah pesan hotel kok, agak jauh sih dari sini.”
“Kamu tau darimana rumah ini?” tanyaku menyelidik. Perasaan, aku tidak pernah memberikan alamat rumah ini.
“Tadi, saya menghubungi orang tua kamu. Saya bilang kalau ada urusan di Jawa dan harus menginap. Makanya saya mau main ke sini. Eh, malah tiba malam hari.”
Aku terdiam, tidak tau harus berkata apa lagi.

“Laras, pertanyaan kamu sedari tadi, semuanya seperti terarah. Persis seperti sedang wawancara. Kaku sekali. Kamu terkejut ya? Apa khawatir?”

“Aku juga bingung, San. Ini beneran, ya? Bukan mimpi?”

“Beneran, Laras. Masa bilang masalah ini harus lewat mimpi segala?”
“Bukan begitu, kemarin aku juga pernah mimpi aneh, terasa nyata sekali, tapi setelah aku sadar, aku cuma mimpi.”
“Yaudah, sekarang kamu tidur, masuk rumah sana. Saya juga mau ke hotel. Kalau kamu bangun besok coba telepon saya, apakah malam ini kita beneran bertemu atau tidak.”

Ia melambai dan tersenyum, masih kutatap punggungnya sampai ia benar–benar tidak lagi kujangkau.

****

Paginya, Sandi susah dihubungi. Salahku mungkin menghubunginya setelah sarapan. Tapi, entah kenapa kejadian semalam terasa nyata untukku. Aku tidak tahu dimana letak kesalahannya. Di dapur, aku menemukan tas belanjaan yang kubeli kemarin. Kata orang di rumah pun, aku memang ke warung sekaligus untuk jalan–jalan. Sedangkan masalah Sandi, tidak mungkin aku menanyakannya pada Ibu atau Bapak, Sandi bahkan tidak mampir ke rumah. Mana mungkin mereka tahu. Jadi, benar atau tidak kemarin itu hanya mimpi?

“Laras, ada telepon dari Sandi,” Ibu teriak dari ruang tengah. Aku yang berada di belakang rumah segera beranjak menghampiri Ibu. Saking tergesa–gesanya, Ibu menatapku bingung setelah sampai di depannya.

“Napasmu nggak bisa diatur dulu, Ras? Kok semangat sekali sepertinya?!” Ibu hanya geleng–geleng sambil menyodorkan gagang telepon padaku. Masa bodolah dengan suaraku yang memburu.

“Halo, Laras?”
“Iya, ini Laras.”
“Maaf, panggilan dari kamu nggak ada yang terjawab. Ada apa?”
“Nggak kasih alasan?”
“Saya pikir, nggak perlu. Jadi, kenapa kamu menelepon saya sebanyak itu?”
“Itu, sebenarnya, kalau salah jangan ketawa, ya?”
“Iya–iya, apa yang meresahkan pikiranmu, Laras? Lama–lama saya gregetan sekali sama kamu!”
“Eum... Apa kamu kemarin datang ke rumah?”
“Iya, tapi kamunya nggak ada. Kata Ibu, kamu pengen jalan–jalan.”
“Ha? Kamu ketemu sama Ibu?”
“Loh, Ibu nggak cerita? Saya datang sama Mama kemarin, ngobrol lama. Sebenarnya, Mama mau ketemu sama kamu. Tapi kamu nggak pulang–pulang.”
“Kamu beneran nggak ketemu sama aku?”
“...”
“San? Halo? Kamu masih di sana ‘kan?”
“Kemarin, saya ketemu sama kamu.”
“Kemarin sore itu? Semua itu beneran?”
“Eh? Saya cuma lihat kamu, Laras. Kita nggak ketemu. Karena jalannya sempit, saya nggak bisa berhenti saat lihat kamu di warung. Ada apa dengan kemarin sore, Laras? Ada sesuatu?”
“Iya, kemarin sore saat aku duduk di kursi depan pagar kamu menghampiriku. Katamu, kamu melarikan diri dari rumah karena mau dijodohkan. Makanya aku memastikan apakah sore itu kita ketemu beneran atau cuma... mimpi,” aku menghela napas. Entah perasaan ini sudah lega atau masih kebingungan dengan sesuatu. Nyatanya, sejak tadi Sandi menolak untuk meyakinkanku bahwa kejadian sore itu bukan ilusi, bahkan terbilang mimpi.
“Kamu kecewa?”
“Untuk apa?”
“Saya mendengar nada kecewa dari pernyataanmu barusan.”
“Nggak. Kenyataannya tidak begitu ‘kan?”

****


“Ibu, kemarin Sandi ke sini, ya?”
Ibu yang sedang menaruh bahan–bahan memasak di kulkas, berbalik menatapku. Delapan jam aku menunggu untuk keberanian ini, dan itu semakin menggangguku.

“Oh, iya. Untung kamu bertanya, Ibu lupa, Ras.” Ibu kembali membersihkan kresek–kresek belanjaan untuk disimpan.

“Ada apa memangnya?” aku mengikuti Ibu yang beranjak menuju ruang tengah. Tidak segera duduk, Ibu berkeliling mencari sesuatu, sepertinya remot TV tidak ada di tempatnya lagi.

“Kamu barusan nonton TV nggak, Ras?”
Aku yang sudah duduk memperhatikan Ibu, kembali beranjak untuk membantu mencari remot yang entah ada dimana sekarang. Belum lama aku mencari, TV sudah menyala. Aku menengok ke sana kemari mencari keberadaan Ibu. Aku merasa ada yang aneh dengan sikap Ibu.
Saat kulihat Ibu kembali membawa nampan yang berisi camilan dan minuman, aku menghela napas berat. Apa Ibu memang sengaja mengulur waktu dan mencoba menghindariku beberapa saat lalu?

“Ibu kenapa, sih?” Ibu menatapku enteng.
“Sehat.”
“Tapi nggak mau jawab pertanyaanku!” aku menyandarkan punggungku di sofa.
“Oh, iya, kamu tadi tanya apa? Maklumlah, Nduk, Ibu sudah tua.”
Aku mengalah kalau Ibu sudah begini. Sampai kapanpun aku enggan menganggap Ibu sudah tua, tubuhnya saja masih sehat dan kuat lalu darimana Ibu menilai dirinya sendiri sudah tua?
“Sandi dan Mamanya kenapa ke sini?”
“Mainlah, gantian.”
“Ibu... Laras serius.”
“Kamu nggak percaya sama Ibu?”
“Laras ke depan aja deh kalau gitu. Gerah!” aku beranjak meninggalkan Ibu sendirian. Aku kesal dengan diriku sendiri, mengapa terlalu memikirkan Sandi dan semua mimpi–mimpi itu.

“Sandi akan dijodohkan.”

SENANDIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang