Senandia Kedua

18 2 4
                                    

Rumah Mama Nia hangat. Kami disambut dengan kebahagiaan yang dipancarkan Mama Nia dan juga suaminya—Papa Parhan. Eh, ada lagi, Pigo, anak bungsu Mama Nia. Anak teman Ibu itu cuma dua dan si bungsu tadi berusia 16 tahun. Begitu masuk rumah, kami digiring ke ruang tengah. Wow, bahkan siapa pun yang berada di depan gerbang rumah Mama Nia pasti bisa menduga seberapa banyak timbunan kekayaan di sini. Tidak heran, isi rumahnya saja sudah seperti tambang emas, berkilau–kilau dan pastinya barang–barang mahal. Tapi saat kuperhatikan lebih jelas, semua barang di sini produk daerah semua. Mayoritas khas dari Jawa. Dan sebagian lagi dari Sumatra.

"Ini Laras ya, Septi? Wah, kalau ketemu di jalan pasti nggak bakal kenal nih, beda banget sama waktu kecilnya. Pangling Mama."

"Kamu yang tau masa kecilnya Laras aja sampai nggak ngenalin Laras, apalagi aku yang nggak pernah lihat Sandi, terkejut aku, ditambah Pigo, kok gemesin semua anak–anakmu."

"Laras nggak kalah gemesinnya ini, imut, cantik. Apalagi setiap hari susah ngatur anak laki–laki itu! Terus tadi, waktu lihat Laras, segernya."

Haduh, gini ya rasanya bertemu teman lama, senang dan bercandanya dari hati. Mungkin, sebentar lagi mereka akan membuat perjanjian untuk saling menukar anak. Dari tadi yang diomongin kalau bukan aku ya Sandi atau Pigo. Sangat menarik. Ibu–ibu memang jagonya ngerumpi. Beda lagi kalau Bapak sama Papa Parhan, mereka sudah pergi ke belakang rumah, entah sedang apa. Paling ngomongin hewan peliharaan. Dan aku? Cuma dengerin mereka bicara dan celingak–celinguk lihat sekitar. Meskipun dari tadi jadi bahan pembicaraan, mereka sibuk sendiri, aku hanya sesekali ditimpali pertanyaan.

"Kak Nan, PS Pigo dimana? Pigo mau main." Pigo teriak di atas tangga kemudian turun dan mondar–mandir membuka lemari dan laci. Apa ada orang lain lagi di rumah ini? Bukankan cuma Sandi kakaknya Pigo? Tapi kenapa panggilan Sandi jadi Nan? Jangan–jangan Sandi–wara memang bukan namanya.

"Kak, dimana, sih, ah?" Pigo masih teriak.

"Pigo, ada temen Mama ini kok teriak–teriak, nggak sopan! Sana pergi!"

"Maaf Ma, Maaf juga Ibu Septi, tapi Kakak kemana? Dari tadi Pigo cariin nggak ada, Pigo bisa stres, nih, nggak nemuin PS, mau main jadi nggak bisa!" Pigo kesal, rambutnya acak–acakan. Tapi, dia lucu, tidak kelihatan bahwa dia anak yang nakal dan bandel. Polos.

"Ya... mana Mama tahu! Dari tadi 'kan Mama di sini. Udah, kamu belajar aja sana, katanya mau ujian? Atau sebagai gantinya PS, main aja sama Mbak Laras, dia kelihatan bosan, tuh."

Pigo berdecak kesal, "Yaudah, Pigo belajar aja. Mana mau Mbak Laras main sama bocah. Toh, kalau Mbak Laras bosan kenapa nggak disuruh main sama Mas aja?" kemudian Pigo naik lagi.

Jelas maulah aku kalau ditemani sosok imut kayak Pigo. Yah, tapi kasihan Pigo jika dikira suka sama yang lebih tua. Ihh... Malu–malu–malu. Mama Nia dari keturunan Jawa beruntung berjodoh dengan Papa Parhan yang asli Tiongkok. Ya, bisa kalian bayangkan bagaimana wajah anak–anaknya itu, menggemaskan, imut, lucu, ganteng, tidak berlaku untuk Sandi.

"Ma, Sandi izin ke supermarket bentar, ya," Sandi datang entah darimana, ia sudah berganti kaos putih polos dan celana jin hitam pendek. Sekilas, ia melihat ke arahku. Kemudian menjabat tangan Mama Nia dan Ibu.

"Iya, hati–hati."

"Maaf ya, Bu, saya tinggal dulu."

"Nggak apa."

"Kak, Kak, Kak Senandia, tunggu dulu!" Pigo turun dari tangga dengan tergesa–tega. "PS Pigo ada dimana? Pigo cari kok nggak ada?"

Ibu dan Mama Nia berekspresi sama sepertiku, shock. Ibu bahkan sempurna berdiri dan memandang Pigo, kemudian beralih padaku yang tidak mampu berkutik apa–apa. Berkali–kali kucoba berbicara, tapi suaraku membeku tidak bisa berucap. Jantungku mencoba mencuri udara kebenaran. Telingaku terus–menerus mendengungkan nama yang entah mengapa membuatku tak sanggup menanggapi. Semesta disekitarku seakan ingin menghantamku bertubi–tubi, lemas, semua rasa bertahan selama ini ternyata tidak berguna sama sekali. Sedangkan Pigo dan Sandi tidak menyadari hal ini, mereka sibuk membicarakan keinginan Pigo. Dan ketika tiba–tiba mulutku bisa mengeluarkan suara, disitulah Sandi menoleh, "Senandia?" sekujur tubuhku gemetar tak karuan. Beton pertahanan selama ini telah hilang.

SENANDIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang