Selesai

73 13 37
                                    

"Nduk, Minggu ini pulang kan?" kata Bapak ditelepon setelah ngobrol banyak.
"Iya dong, Pak. Kangeeeen banget sama Bapak, sama Ibu," ucapku sambil senyum-senyum.
"Ini, Ibu mau bicara dulu," kata Bapak.
"Iya."
"Halo Putriku," sapa Ibu. Emang ya, Ibu itu orang gaul.
"Hai Ratuku," balasku. Kudengar Ibu tertawa.
"Kamu tidak apa-apa kan?"
"Eh? Kenapa? Aku baik-baik saja." Aku bingung.
"Tidak ada. Ibu khawatir saja."
"Oh."
"Yaudah. Kalau lama-lama ngobrol ditelepon nanti pas pulang nggak kangen lagi."
"Oh iya-iya. Benar," sahutku.
"Hati-hati ya Putrinya Ratu."

Itu adalah percakapan terakhirku di Pulau Sumatra. Dan hari ini sudah 2 hari aku tidur di Pulau Jawa bersama orang tuaku. Senang sekali. Ya, walaupun aku jadi teringat dengan jalan kenangan, halaman kenangan, dan berbagai kenang-kenangan yang menerobos ingin muncul. Saat ini aku sedang di kamar. Sekadar istirahat setelah membantu ibu sejak pagi.

"Nak," Ibu membuka pintu kamarku.
"Ibu mau bicara."
"Iya, Bu, masuk!" Perintahku.
"Beberapa hari sebelum kamu pulang, temanmu datang ke sini." Kulihat ibu sedikit berat untuk memberikan sesuatu di tangannya.
"Kenapa, Bu? Bilang saja," desakku sedikit penasaran.

Ibu lalu menyodorkan sebuah kresek hitam yang di dalamnya jelas ada sesuatu yang agak tebal. "Kamu yang sabar ya, Nak, Ibu keluar dulu." Raut wajah ibu sedikit menyemangatiku.

Kertas undangan. "Oh, masih tunangan?"

Aku benar-benar mengamati kata demi kata yang ditulis di dalam undangan. Berharap aku tidak salah baca. Tapi memang benar aku tidak salah baca. Hahaha. Apa yang aku harapkan?

Dadaku sedikit sesak. Aku tidak boleh menangis. Ada yang mengganjal.

"Ting..."

Layar hp menunjukkan hari dan tanggal take off ke Sumatra. Bagus, tidak perlu repot–repot menghadiri acara tidak penting.

Tanpa berpikir ulang, aku memutuskan tidak pergi ke acara mereka. Sebenarnya, bisa aku batalin tiketnya, tapi aku tidak ingin. Bukan karena cemburu. Bukan. Aku tidak ingin lagi melihat masa lalu. Aku tidak ingin lagi merasa kecewa. Aku tidak mau ditertawakan oleh kenangan yang aku bawa. Kalau untuk memaafkan, aku bisa. Tapi aku belum siap untuk semuanya.

Dan seminggu berlalu, hari ini aku ke bandara sendiri, karena kedua orang tuaku kusuruh untuk menghadiri acara mereka. Biarlah Ibu atau Bapak menceritakan sesuatu asalkan aku tidak di sana.

Setelah duduk di dalam pesawat. Aku menerima pesan.

From: xxxxx []

Ternyata kamu memilih pergi.
Maaf, jika ini memang takdir kita, semoga ini yang terbaik untukmu.
Maaf, sebenarnya ingin menahanmu pergi untuk awal yang baru ini. Tapi kamunya nggak mau, bagaimana lagi.

From: xxxxx [10:30]

Maaf, aku belom bisa meminta maaf secara langsung.

Omong kosong darinya hanya membuatku tertawa. Tapi entah kenapa aku mengeluarkan air mata. Seketika aku ingin pesawat ini untuk terjun ke dalam Selat Sunda. Dan menghilangkan semua kenangan yang terus aku bawa kemana-mana.

Seketika aku ingin mencoba bangun untuk sekadar minum air putih supaya berganti mimpi. Haha. Semuanya tidak terjadi, itu hanya kata-kata dalam pikiranku.

Kubuka surat yang belum selesai kubaca. Dengan berat hati aku membawa–bawa surat ini kemana–mana.

Info:

Tidak seharusnya aku memberitahukanmu masalah ini, tapi aku tidak ingin mematahkan hatimu untuk kedua kalinya. Aku akan bertunangan dengan Ratih. Aku tidak tau, mengapa cepat sekali memutuskan ini. Tapi kuakui, kamu adalah cinta pertamaku. Kamu orang pertama yang berhasil mengunci duniaku. Tapi takdir selalu main–main, dicerita selanjutnya, semoga kita berteman dengan baik.

Semuanya terlambat dan sudah terjadi. Aku kembali mengusap air mataku untuk yang terakhir kali. Air mata terakhir pada bulan Maret ini. Air mata terakhir pada tahun ini.

Dan aku tidak ingin orang lain menjadi sepertiku.

"Saya tadi nggak berniat membawa dan menggunakan tisu, tapi sekarang sepertinya bermanfaat?"

Aku jadi tidak enak mengganggu penumpang di sampingku, tapi aku menerima tisunya, "Terimakasih. Kalo nggak ada aku, kan bisa untuk mengelap kacamatamu."

"Tanpa sengaja, kamu sudah bilang kalau kacamataku kotor," dia tertawa dan aku menepuk jidat.

| Tamat

Keputusan yang berat untuk mempublish kembali cerita ini. Sebagai seorang yang menulis sederhana, saya mencoba berani menerima segala resikonya, menerima segala kemungkinannya. Tapi hari ini, saya kembali teringat pada teman-teman yang menyukai cerita ini, teman-teman yang sudah selesai membaca dan memberikan banyak komentar pada saya. Terimakasih tak terhingga pada mereka semua.

Dari saya pribadi, saya sangat suka mengulang membaca cerita ini, entah itu hanya satu part saja, atau keseluruhan bagiannya; tidak pernah membuat saya bosan. Selalu ada hal yang mengingatkan saya pada sesuatu yang begitu menyenangkan.

Kembali lagi, saya berterimakasih pada kalian yang mau berkunjung dan menamatkan cerita ini. Terimakasih telah meluangkan waktu untuk memberi apresiasi atau pun dukungan yang menyenangkan. Mohon maaf apabila cerita ini belum memberikan hal positif untuk kalian. Belum bisa memberikan amanat yang luar biasa untuk kehidupan. Saya harap, kalian bisa terhibur dan mencontoh hal-hal baik dari cerita ini walaupun cuma hal kecil yang bisa jadi mempengaruhi banyak hal.

Sampai jumpa lagi pada suatu hari yang menyenangkan :)

fin.

Baca kelanjutannya di Bagian kedua:

SENANDIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang