Akhir yang Telah Usai

6 1 0
                                    

Ketika Sandi telah menemukan kebahagiaan nanti, kuharap ia tidak akan melupakanku. Kuharap masih bisa berteman dengannya lagi. Kuharap perempuan yang mendampinginya nanti selalu membuat Sandi bahagia, Sandi sangat baik dan orang baik selalu dipertemukan dengan orang baik pula. Kuharap Sandi juga senang dengan perjodohan ini. Mengingat mimpiku saat Sandi datang dengan alasan melarikan diri karena tidak menerima perjodohan itu, artinya semesta ingin aku tahu bahwa Sandi baik–baik saja di sana. Seperti yang kupercayai selama ini, mimpi adalah kebalikan. Kebalikan yang benar nyata. Ya, meskipun aku tidak terlalu yakin dengan hal itu, setidaknya mimpi bisa membuat semuanya menjadi lebih baik.

Pagi ini, aku mencoba udara pagi di sekitar rumah. Para tetangga masih banyak yang mengenalku, banyak yang mengatakan jika aku sudah berubah menjadi Laras yang sungguh dewasa. Mereka tidak pernah tahu keadaanku dengan Senandia. Mereka hanya menganggap kami seorang teman “sekolah”, tidak ada yang tahu tentang seberapa berat aku melewati beberapa tahun belakangan ini.

Entah bagaimana aku tidak menyadari, bahkan ketika melewati jalan–jalan ini, lapangan, warung yang dua tahun lalu masih ramai pembeli sekarang berubah menjadi tempat nongkrong yang keren. Aku terus berlari, tidak menyadari keadaan sekitar yang sangat ramai, bahkan kakiku enggan untuk menepi sebentar. Karena semakin lama aku menyadari, aku telah kehilangan sesuatu dari perasaan aneh ini. Apa yang salah? Apa yang sebenarnya aku pikirkan?

Akhirnya aku menepi sebentar untuk duduk. Tiba–tiba aku menyunggingkan senyum, halaman yang luas itu telah berubah menjadi lapangan yang ramai. Pohon besar itu telah tiada. Pengendara kendaraan dalam bentuk apapun tidak lagi diizinkan memasuki kawasan ini. Lagi–lagi senyumku tersimpul. Aku menepuk–nepuk perasaanku yang membingungkan. Menjadi dewasa itu membingungkan, sekaligus melelahkan. Aku bertanya–tanya apa yang kulakukan sekarang bukankah bentuk pelarian? Berkali–kali aku bertanya, ada apa dengan diriku ini? Apa sakit lagi batinku? Perasaanku? Kenanganku?

Kakiku melangkah pulang dengan gontai. Semesta memberi kejutan apalagi kali ini?

“Kejutan...”
Laki–laki itu merentangkan kedua tangannya, ditambah juga senyuman dan ekspresi bahagianya, seakan senang telah menyambutku pulang. Dengan perasaan yang sebisa mungkin kuatur untuk memenuhi hatinya sekarang, aku tersenyum menghampirinya.

“Sejak kapan di depan rumah? Kok nggak masuk, apa nggak ada orang?” aku menaruh tubuhku di kursi sama seperti malam itu setelah melihat pintu rumah yang terbuka. Sandi tetap berdiri tidak jauh dariku. Kelihatanya, ia juga tidak berniat mendekati pagar di seberangku.

“Baru keluar sih, sebenarnya. Darimana aja jalan–jalannya? Andaikan kami datang lebih cepat tadi, pasti saya bisa ikut kamu keliling. Kayaknya menyenangkan,” ia kembali menyunggingkan senyuman.

“Belum sekarang waktu baiknya,” kubalas senyumannya.
Tapi aku tidak pernah tahu kapan waktu baiknya. Sandi di sini mungkin sedang menghargai Ibu sebagai teman Mama Nia, sekadar memberitahu sebuah rencana atau malah memberi sambutan khusus untuk hadir di acara bahagia nanti.

“Yang penting Laras mau jadi teman saya jalan–jalan ‘kan?” aku mengangkat bahu. Berat untuk mengiakan. Berat juga untuk menolak. Eh, Laras, hatimu baik–baik saja ‘kan?

Lebih dari baik. Lebih dari baik. Lebih dari baik. Sangat baik–baik saja.

“Ayo, masuk ke rumah, udah lama nggak ketemu Mama,” aku melangkah lebih dulu.

“Maaf, Laras.” Sandi tidak beranjak dari tempatnya. Aku hanya membalikkan badan dan tersenyum padanya. “Langsung mau pergi? Nggak pamit dulu?”

Ia menggeleng, “Bukan itu maksud saya. Saya minta maaf telah mengecewakan kamu. Mungkin ini cuma firasat saya, tapi saya sungguh berniat meminta maaf.”

Aku menghampirinya. “Mau bilang apa, San? Ah, nggak usah bercanda, aku tau kamu senang ‘kan sekarang?! Aku baik–baik aja kok, selagi masih ketemu sama kamu dan Pigo.” Ingin sekali tersenyum sangat ramah dan merasa baik–baik saja. Apa daya, perasaanku hanya sebatas ini. Tidak bisa lagi, mau diapakan.

“Iya, kamu bener. Tapi, kamu nggak pengen tanya siapa perempuan itu, Ras? Siapa tau aja kamu kenal, seru ‘kan?”

“Oh, iya, lupa. Lihat kamu seneng gini jadi nggak sadar kalau aku nggak tahu jodoh kamu. Maaf, ya, San?!”

“Tentu.”

“Sekarang kamu tutup mata deh, biar jadi kejutan beneran. Sebenarnya, dia ada di dalam.”
“Loh, kok kamu nggak bilang sih, kenapa juga harus tutup mata?”
“Ayolah, Ras?!!”

Tenang, Laras, apa pun yang ada di hadapanmu nanti kamu harus sebisa mungkin bahagia. Sandi sudah susah payah membantumu sampai di detik ini, kamu tidak boleh menyalah artikan kebaikannya dengan hal–hal yang tidak pasti. Sandi akan bahagia sekarang, jangan merindukan kecerewetannya. Dan jangan ada lagi pelarian.

Beberapa menit setelah aku menutup mata, akhirnya aku membuka mata. Disaat itulah aku mendengar banyak seruan, “Kejutan!!!” semua orang ada di sini, Ibu, Bapak, Pigo, dan kedua orang tua Sandi, membawa balon warna–warni dan menatapku bahagia.

“Apa ini?”
“Selamat ulang tahun untuk anaknya Ibu dan Bapak!!!”
“Yeayyy, horeee.”
“Selamat ulang tahun untuk menantunya Mama.”
“Selamat ulang tahun, Laras, Sayang?!”

“T–tunggu sebentar, apa maksud semua ini? Mama Nia bilang apa tadi?” aku beralih pada Sandi yang tesenyum sangat lebar. “Kamu tadi nggak salah manggil?”
“Kita akan bersama, Ras. Saya akan menjaga kamu dari semua kesedihan. Sebisa yang saya mampu.”
Balon–balon itu terbang, bersama semua beban dan air mata kesedihan. Seharusnya aku lebih banyak bersabar...

***

Judul chapter ini terinspirasi dari tulisan Rintiksedu.
Dan, akhirnya saya memutuskan untuk mengakhiri cerita ini, di sini.

SENANDIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang