Maret, (ke) Sekian

10 4 2
                                    

Mereka ada di sini, sejak tadi pagi. Siapa lagi kalau bukan Bapak dan Ibu. Selain karena merindukanku, kurasa mereka ada janjian dengan seseorang. Itu, Ibu sejak tadi berkutat dengan telepon melulu. Kalau Bapak sudah tidur pulas, katanya, barang–barang yang dibawa Ibu seperti orang mau pindahan.

Aku tinggal di apartemen sewaan, mau beli rumah di sini tidak boleh sama Ibu, lebih baik beli rumah di Jawa saja, toh di Sumatra ngeri, kata Ibu. Padahal, perjanjian tertulis dengan kantorku memberikan sebuah rumah untuk ditinggali selama menjadi pegawai, tapi kata Ibu (lagi) tidak usah diambil, minta di apartemen saja, menyewa.

"Laras," Ibu memegang kedua bahuku dari belakang. Kami sedang ada di ruang makan, tujuanku tadi mau makan camilan sambil baca koran, tapi kemudian Ibu datang. Ibu mengambil posisi di seberangku.

"Kok nggak istirahat aja, Bu? Aku pikir, Ibu mau tidur setelah beres-beres."

"Susah, Ras. Suasananya nggak nyaman, asing." Ibu seperti ingin mengeluh dan telihat lesu.

"Ibu nyesel ya ke sini? Kata Bapak tadi, yang ngeyel minta ke sini malah Ibu, terus kenapa sekarang nggak semangat gitu?" Aku membereskan koran yang tertunda kubaca. Menikmati camilan ini dengan cerita menarik yang akan Ibu sampaikan.

"Mungkin karena sejak tadi Ibu hanya menghabiskan waktu dengan bertelepon kali ya, makanya Ibu merasa sempit banget di dalam sini." Ibu mengambil toples camilan di tanganku.

"Kalau Laras bilang Ibu harus tidur sekarang supaya besok kuat jalan-jalan, mau nggak?"

"Seratus persen setuju!"

"Eh, Ras, sekalian ketemu sama temen Ibu mau nggak?" tanpa berpikir panjang, aku langsung mengangguk. Wajah Ibu kembali ceria, seakan teman lamanya memang benar-benar telah lama ditinggalkannya. Kira-kira, siapa ya teman Ibu, kenapa bisa tinggal di sini?

**—

Di sepanjang perjalanan, Ibu begitu terpesona dengan jalanan yang rapi, tanpa macet, penuh pepohonan, dan bangunan–bangunan masih terlihat asli khas daerah sini. Malah, beberapa kali, Ibu ingin aku menghentikan mobil untuk menikmati keadaan itu. Katanya, "Pasti rasanya segar dan sejuk, Ras. Pumpung masih pagi ini." Tetapi, Bapak malah ngomel, Ibu disamakan dengan anak kecil yang tidak pernah bermain. Ya... kupikir mereka memang butuh refreshing untuk sementara ini.

Aku merasa menyesal. Ketika aku meninggalkan rumah dulu, aku tidak memikirkan perasaan mereka, yang kutahu hanya mereka mengizinkanku karena keadaan, mereka ingin aku bisa memulihkan perasaan. Tetapi aku lupa, aku adalah anak mereka satu–satunya, mereka juga takut kehilanganku, selalu merasa cemas setiap hari, bahkan yang kutakuti adalah mereka memikirkanku lebih dari kesehatan mereka sendiri.

Semua kekhawatiranku itu sudah lenyap sejak kemarin. Saat mereka dengan tidak pedulinya mengetuk pintu dan menyelonong masuk apartemenku tanpa melihat keterkejutanku. Saat kulihat mereka masih bisa bercanda dan tertawa di dekatku saat ini. Aku bersyukur sekali, Tuhan masih memberikan umur yang panjang pada mereka. Aku masih bisa melihat mereka tersenyum dengan tubuh yang masih sehat dan kuat.

"Laras, kok ngelamun, sih? Mbaknya udah nunggu dari tadi lho." Ibu menyenggol bahuku.

"Eh, iya, maaf, pesen yang ini aja." Aku cengengesan melihat mereka.

"Kamu mikirin apa to, Ras? Padahal dari tadi Bapak mendengarkan Ibumu ngomong, tapi kamu malah bengong sendiri. Ada masalah?"

"Enggak ada, sih. Laras cuma bingung milih yang mana, kelihatan enak semua makanannya."

"Heh, sampean lho sudah dua tahun ada di sini, masa nggak pernah coba makanan–makanan itu?" Ibu keheranan.

Kemudian telepon Ibu berbunyi. Aku tidak perlu susah–susah memikirkan jawaban dari pertanyaan mereka tadi. Aku pun tidak tahu kenapa aku berbuat demikian, seakan aku begitu menyesali yang sudah terjadi.

Wajah Ibu kembali menunjukkan kebahagiaan. Tadi sempat kudengar Ibu menyebutkan dimana keberadaan kami, apa mungkin teman Ibu akan menyusul kemari? Ah, pasti tidak akan seru, seharusnya bukan sekarang waktunya, aku 'kan masih ingin bercerita dan menghabiskan waktu bersama mereka. Nanti, waktuku bahagia dengan Ibu dan Bapak malah tergantikan dengan rasa canggung pada orang asing.

Tapi kekhawatiranku tidak terjadi. Tidak seperti dugaanku. Sampai kami selesai makan, teman Ibu tidak datang mengganggu kami. Kami asyik menghabiskan waktu dua jam di tempat makan. Namun ketika kami sempurna keluar dari tempat makan dan menuju parkiran, ada seorang laki–laki yang menghampiri kami dan menawarkan diri untuk menyetir. Ia berpakaian rapi orang kantoran, juga sepatu pantofelnya. Mirip orang yang pulang kerja. Kupikir, usianya sama denganku. Tetapi, kenapa orang asing ini repot–repot ingin menyetir?

"Ah, iya, saya lupa memperkenalkan diri," ia tersenyum. "Saya anaknya Mama Nia, Tante pasti mengenalnya 'kan?"

Ibu sedikit mengamati dan meneliti laki–laki itu. Seperti mencari kesamaan dengan orang yang dikenalnya, baru kemudian Ibu berkata, "Oalah, jadi kamu yang dimaksud penjemput kami tadi. Harusnya kamu bilang dari tadi, Ibu jadi mikir yang enggak–enggak," Ibu tertawa berbicara dengannya. Memangnya dia siapa?

Ibu memperkenalkanku padanya. Begitupun aku, juga dikenalkan padanya. Namanya Sandi, bahkan aku berpikiran jika nama lengkapnya adalah Sandi–wara. Ia adalah anak dari sahabat Ibu dari SMA, Tante Nia, yang katanya, sudah menjadi orang sukses di pulau paling barat Indonesia ini.

Kami pergi menuju rumah Mama Nia—Ibu menyuruhku memanggilnya demikian karena katanya, itu adalah panggilan perjanjian ketika mereka SMA. Itupun berlaku untuk Sandi.

Berbicara soal Sandi, ia sangat cerewet, sejak tadi tidak henti–hentinya bercerita mengenai daerah yang kami lewati sampai soal keluarganya yang pindah ke pulau ini. Dan sialnya, tidak hanya Ibu yang tertarik dengan cerita Sandi, Bapak juga, mereka berbicara seakan melupakan aku yang hanya diam saja sejak tadi. Awalnya, aku ingin duduk bersama Bapak dan Ibu di kursi belakang, tapi mereka menentang keras, Bapak dan Ibu takut jika Sandi diperlakukan seperti sopir yang sesungguhnya. Tentu saja mereka sungkan walaupun Sandi sendiri tidak keberatan.

Dan entah kenapa, aku tidak suka dengan keadaan ini. Jika aku tahu bahwa yang terjadi malah demikian, pasti kutolak secara halus permintaan Ibu kemarin. Ayolah, aku merasa malas menghadapi keadaan canggung.

SENANDIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang