Menjadi

6 2 2
                                    

Kurasa, alasanku harus pulang sudah jelas. Tinggal menghitung hari yang masih lama untuk dijumpai. Pagi ini cuaca tidak seperti biasanya. Langit yang terbiasa cerah, awan putih yang selalu memenuhinya, kini telah terseret oleh kabut–kabut hitam nan pekat. Dari balik jendela ditemani anthurium plowmanii, aku memangku dagu sambil memandangi rintik yang mengalir di jendela. Hujan pagi ini membuat keadaan luar sangat gelap. Hujan sepenuhnya berkuasa mendahului matahari.

Aku pun sudah berpakaian rapi untuk pergi ke kantor. Bukan sekarang, masih dua jam lagi. Tapi sudahlah, terlalu banyak hal kosong yang membuatku mau menunggu reda. Saat ini, selera meminum teh seperti biasanya, seakan hilang. Bahkan sejak terbangun tadi, aku hanya meminum satu gelas air putih, itupun terpaksa. Berganti waktu, suhu dingin hujan merambat masuk. Aku menggosok–gosok pelan telapak tangan. Salahku yang memilih pakaian pendek disaat keadaan seperti ini. Malas sekali ingin mengambil jaket atau berganti baju atau membuat teh atau makan–makanan panas. Yang terasa sekarang hanyalah kosong, tanpa ekspresi, hampa, apa aku harus tenang ketika menikmati derasnya hujan itu? Sulit.

Semakin lama yang membosankan, aku pergi dari tempat terpojok ini menuju dapur. Sudah lama aku menganggurkan mi instan di dalam lemari, di atas lemari pendingin, sekali saja mencicipinya tidak akan masalah. Hanya ada tiga rasa mie instan yang kubeli, kira–kira sudah satu bulan lamanya aku membeli mie ini, baru berkurang ketika Ibu dan Bapak datang kemarin. Rasa yang paling kusukai adalah mie kuah ayam bawang, disusul kari ayam, baru mie goreng lombok hijau. Membayangkannya saja membuatku kembali mengingat bagaimana rasanya. Karena sedang hujan, aku memilih mie kuah ayam bawang. Selain karena baunya yang mudah menyentuh selera, rasa–rasanya perutku memang mulai keroncongan.

Mengambil panci kecil setelah memungut dua bungkus mie kuah ayam bawang dan mengambil air dari kran kemudian langsung mendidihkannya. Membuka bungkus bumbu–bumbu dan menadahkan pada mangkuk sedang sambil menunggu airnya matang. Ini adalah alternatif ketika keadaan benar–benar mendesak. Namanya saja sudah instan, digunakannya pun cepat–cepat. Juga, hari yang masih pagi buta bukan kebiasaanku untuk memasak. Baiklah, juga karena alasan malas. Bahkan, lampu di apartemen ini semuanya masih menyala. Kulihat ke luar jendela sama seperti keadaan saat malam, ditambah suara derasnya hujan yang menerobos masuk sedikit–sedikit. Siapa pun yang sedang mengalaminya dengan malas, akan melupakan bahwa saat ini sudah pagi. Apalagi untuk orang yang baru saja bangun tidur, bisa–bisa ia kembali tidur karena mengira hari masih malam.

Aku bergegas mengambil pakaian tebal di kamar dan membawa telepon genggam setelah semenit kira–kira berlalu. Dan kau tau apa yang ada dipikiranku ketika telepon genggam ini menyentuh tanganku? Aku terpikir oleh salah satu lagu dalam drama Descendants of the Sun, always. Yah... rasanya digiring lagi dalam suasana lagunya, dramanya, dan kesedihannya. Padahal sekarang aku tidak mendengarkan, tetapi perasaan yang tadinya kosong, tiba–tiba menyesakkan diri, ditambah derasnya hujan yang belum juga reda, mengapa serasi sekali keadaan saat ini. Dan yang sangat disayangkan, aku menikmatinya sendiri, sendirian, tidak ada siapa–siapa.

Rasa kesal karena tiba–tiba dibayangi langunya DotS, membuatku memutar lagunya Chen Xpunch, manalagi jika bukan Eveytime? Aku menjadi orang waras yang sedikit tidak mau gila, sejak tadi tersenyum, lalu mengingat bagaimana pasangan utama cerita itu berkahir dengan kebersamaan yang nyata. Pasangan yang serasi. Semesta pasti sedang bahagianya dengan keadaan mereka. Loh, kok berbicara tentang keadaan mereka sih?!!!!

Terkadang, keadaan terlalu jahat membiarkan kita ikut merasakan kebahagiaan atau kesedihan orang lain. Membiarkan diri kita masuk pada keadaan orang lain berarti kita turut menghargai keadaan mereka. Namun, hal negatif yang mungkin dapat singgah dalam diri kita adalah rasa iri, meginginkan hal serupa karena berpikir bahwa kita juga akan merasakan hal yang kita lihat. Apa yang selalu menjadi anggapan hanyalah hipotesis yang membuat perasaan diri sendiri lega, yang sebenarnya bahwa hipotesis hanya berlaku sebagai dugaan dan tanpa pembuktian. Tidak ada yang pernah tahu bagaimana keadaan seseorang yang sebenarnya. Kehidupan sebenarnya selau dikontrak oleh perasaan dan pertimbangan sendiri tentang apa–apa yang bisa dibagikan, dipertontonkan, dan bebas dikomentari orang lain. Setiap orang pasti punya batasan untuk menyebarluaskan pribadinya masing–masing. Tugas kita sebagai manusia sosial, seharusnya mencontoh kebaikan, kehidupan yang layak untuk ditiru. Sedangkan sisanya bukan untuk bahan cemoohan ataupun bahan penjatuhan harga diri seseorang, tapi kembali lagi pada diri kita, meyakinkan agar tidak melakukan hal serupa.

Hal terpenting saat mencoba melihat keadaan orang lain adalah jangan membandingkannya dengan keadaan kita. Manusia adalah makhluk yang diam–diam bangga dengan hal kecil dalam melebihi sesuatu orang lain.

Satu suap lagi untuk menghabiskan dua bungkus mi ayam bawang dalam satu mangkuk. Ya, terlalu lezat dan kenyang disertai pikiran yang tiba–tiba penuh.

***

Aku terpaksa sampai di kantor dengan keadaan yang masih hujan. Memarkir mobil dan menuju ruanganku untuk membereskan sesuatu, sebelum nanti katanya akan ada rapat. Nahasnya, kantor masih sepi. Simpang siur beberapa staf yang sudah memulai bersih–bersih. Sesekali tersenyum dan menyapaku. Penghuni kantor ini, bahkan semuanya sangat menyenangkan.

Satu jam pun kulalui dengan kertas–kertas dan data–data dalam komputer. Seakan menyadari bahwa keadaan luar tidak seramai biasanya, aku pun segera memastikan keluar ruangan. Lengkap, semua orang ada di mejanya masing–masing, tetapi tidak biasanya telingaku tidak menangkap suara sedikit pun dari aktivitas mereka. Aku kembali memasuki ruanganku. Selang beberapa saat, ponselku berbunyi, disusul suara sahut–sahutan dari ponsel karyawan di luar. Apa sudah waktunya rapat sekarang, sehingga semua orang mendapat pemberitahuan? Mengapa harus semua orang? Apa ada keadaan penting yang sedang terjadi?

Belum sempat aku membuka ponsel dan masih dalam keadaan menerka–nerka, seorang staf tiba–tiba mendobrak pintu ruanganku dengan kasar, padahal tidak terkunci, tidak harus menggunakan tenaga sekuat itu. Dengan napas yang terengah–engah, staf itu mencoba berbicara sesuatu padaku. Disela–sela ketidakpahamanku pada gerak–gerik mulut staf itu, mataku menangkap keadaan di belakangnya. Karyawan yang semula sibuk dengan tugasnya masing–masing berhamburan ke sana kemari tak tentu arah. Seakan mereka bingung jalan keluar dan frustasi pada yang sedang terjadi. Memangnya kenapa? Apa yang membuat mereka seperti itu? Dan mengapa sulit sekali mendengar suara–suara dari mereka? Ada apa ini...

“Ponsel! Buka ponselmu!” Staf itu akhirnya mengeluarkan suara. Aku yang bingung pada keadaan di belakangnya belum bisa melakukan apa–apa. Ponsel? Ya... sejak tadi ponselku memang berbunyi. Memangnya kenapa? “Ponselmu harus baik–baik saja. Jangan sampai ponselmu membunuhmu!” Eh? Kenapa sih staf ini?!!

Aku menyahut ponselku dan beranjak dari meja. Kuputuskan untuk melihat lebih jauh keadaan sebenarnya di balik punggung staf. Staf itu terkejut melihatku berdiri dan bergerak ke arahnya. Ia mundur. Semakin mundur dan tiba–tiba terjadi ledakan besar di sekitarnya. Suara jeritan sebagian karyawan yang kebingungan tadi lenyap. Semua orang yang berada di depan ruanganku termasuk staf itu menghilang di tengah–tengah kepulan asap dan api yang semakin membesar. Perasaanku campur aduk tak keruan. Kakiku melemas tak berani beranjak dari tempatku berdiri. Nyaliku tertahan pada sesaknya napas yang buru–buru menyentak kesadaranku. Ruangan yang baru beberapa menit lalu baik–baik saja hancur lebur oleh kobaran api. Lagi–lagi ponselku berbunyi. Dengan tangan gemetar dan keringat yang semakin mengalir deras di seluruh wajah dan tubuhku, aku mengangkat ponsel lebih dekat dari wajahku.

Pak Bos mengirim pesan. Setelah membaca sederet pesan singkat itu, dadaku tidak kuasa lagi menahan rasa takut. Kepalaku pusing, sekujur tubuhku kaku. Bagaimana bisa aku segera melarikan diri jika ruangan di depanku baru saja meledakkan sebuah bom, seluruh karyawan maupun staf tidak kelihatan lagi wujudnya, dan kobaran api masih menyala–nyala ingin merambat pada ruanganku. Pikiranku tak keruan lagi, mengapa hanya ada aku di sini? Mengapa yang tersisa hanya aku? Saat kuingat pesan singkat dari Pak Bos tadi, lekas kulihat dalam ponselku menit keberapa sekarang, “Astaga!” ponsel yang kugenggam terjatuh. Sekujur tubuhku gemetar dan luruh. Aku hanya bisa bersimpuh dengan keringat yang membanjiri wajahku.

Aku tidak tahu lagi bagaimana keadaanku setelah dua menit ini. Saat bom yang tertanam dalam ruanganku akan segera meledak dengan dahsyat dan mengakhiri bangunan pencakar langit ini, termasuk aku dan seluruh kehidupanku.

SENANDIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang