Sore Hari

46 15 4
                                    

"Lelah ya?"
"Enggak."
"Bohong,"
"Cewek emang gitu ya?"
"Apa?"
Dia hanya membalas dengan gigi Pepsodent nya.
"Mau Beng-Beng nggak?" tawarku.
"Kenapa?"
"Mau nggak?"
"Enggak."
Aku menekuk wajahku. Jalan yang kami lewati sekarang cocok kusebut panggung sandiwara. Sepi. Hanya cahaya oranye yang terlukis indah di langit menarik perhatianku. Kami terus berjalan menikmatinya. Cuma aku, dia tidak. Dia tetap menuntun sepeda kesayangannya.

"Pukul 5," katanya, setelah 10 detik kami tidak bicara.
"Mau pulang ya?"
"Entah," dia terus menatap jalan di depannya.

Jadi, senja itu seperti ini ya, cuma sepi dan membuatku harus pulang. Iya, senja indah, tapi indah sebatas jangkauan. Jika aku berbalik, tidak ada lagi senja, hilang bertengger di ingatan.

"Kuantar pulang, ya?"
Aku sedikit berpikir, rasanya ada yang akan hilang setelah ini. "Iya, boleh."
Jalan ini adalah jalan menuju rumahku, kira-kira, satu kilometer lagi kami sampai.

Dari kejauhan aku melihat ibu sedang menyapu halaman.

"Assalamualaikum," dia yang bicara. Ibu kaget sekaligus bingung tapi tersenyum ketika melihatku.
"Waalaikumsalam." Kami mencium tangan ibu.
"Halo, Ibu," sapanya ramah.
"Halo juga. Maaf ini dengan siapa?"
"Saya yang nganter anak Ibu dengan selamat. Ongkosnya tolong direstui ya, Bu?" Dia dan Ibu mengangkat tangan persis seperti orang telepon. Tolong jangan dimasukkan hati perkataanya. Nanti kalau suka, aku yang susah.

Mereka cepat sekali akrab. Banyak membicarakan kesukaan mereka masing–masing. Ibu pun sempat kepo dengan kehidupan laki–laki ini.

"Nggak mau masuk dulu? Minum kek, makan kek, atau nginep juga boleh." Itu kata ibu setelah dia pamit mau pulang. Sejak tadi aku hanya memperhatikan mereka sambil ketawa.
"Lain kali deh, Bu. Pastiin aja aku bisa ketemu terus sama anak Ibu." Dia melawak lagi.
"Iya dong. Pasti." Lihat! Baru beberapa menit mereka kenalan sudah seperti adik dan kakak.

"Assalamualaikum, Bu."
Dia memutar sepedanya lalu keluar dari halaman rumahku tanpa berpamitan padaku ataupun sekadar melihatku lalu tersenyum.

Tentu, sangat lucu, kan?!

SENANDIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang