Lalu?

7 4 2
                                    

Memalukan. Aku menangis dan memilih pergi tanpa pamit. Mungkin mengejutkan untuk mereka. Mungkin juga membingungkan. Kenapa nama itu kembali muncul? Kenapa harus nama itu. Aku malah menemukan kesulitan yang seharusnya tidak kutemui karena hal itu tidak penting, tidak lagi harus kupedulikan dan kuperhitungkan. Mengapa sikapku menjadi demikian? Yang sebenarnya salah di sini bukan aku, bukan aku yang seharusnya memilih pergi dan mengurung pada semua emosi tentang dirinya. Dan mengapa lagi harus aku yang merasakannya, mengapa hanya aku?

Dan mereka, apa Ibu juga sudah merencanakan pergantian nama panggilannya supaya aku mau ikut dengan Ibu? Apa ini semua memang sudah direncanakan? Bagus sekali, bodoh sekali, cepat sekali terbongkarnya! Ya Tuhan, sulit sekali membodo amatkan perasaan ini. Kacau. Hanya karena tersentuh sedikit saja, hancur sudah kepingan hatiku yang masih kucoba perbaiki. Bukankah sebelumnya baik–baik saja? Kemana baik–baik saja itu sekarang? Pengecut!!!

Keberadaanku sudah di luar pagar. Aku tidak tahu akan kemana. Aku tidak mau membuat khawatir Bapak dan Ibu. Aku pun takut untuk memasuki rumah Mama Nia lagi. Aku tidak mau bertemu anak sulungnya. Aku terlalu pengecut. Yang salah aku, yang kujadikan korban keluarga mereka. Sepengecut itu memang.

Ibu tiba–tiba mendekap kedua bahuku seraya berkata, “Ibu minta maaf, Laras.” Dan  perasaanku bertambah sakit. Tidak tahu mengapa seperti ini. Ada nyeri yang belum bisa kuhilangkan, mungkin?

“Ibu, Bapak, Nia, dan Sandi memang sengaja merencanakan panggilan itu. Bukan bermaksud apa–apa, Ibu hanya ingin kamu bertemu Nia, teman lama Ibu, tanpa gangguan apa pun. Cuma itu. Karena sulit sekali jujur padamu setelah Ibu tahu nama anak sulung Nia. Sudah lama Ibu memikirkan cara–cara agar kamu tidak merasa seperti sekarang ini, Laras, dan hanya ini yang sempat Ibu pikirkan. Tapi, takdir memang harus melakukan ini untukmu, Laras, untuk menguji seberapa besar usahamu dalam melupakannya. Kamu sudah dewasa, kamu harus membuka diri menghadapi masa lalu. Kami juga tidak menyangka jadinya malah seperti ini karena Pigo tidak tau menahu. Maaf, Laras, kami salah.”
“Mama yang lebih salah, Laras, Mama tidak memberitahu Pigo. Mama menggampangkan keberadaan Pigo yang malah menimbulkan kekacauan.”

Lihat! Mereka seakan sekongkol untuk membuktikan bahwa kelakuanku kekanak–kanakan, bahwa tindakanku sekarang mengecewakan mereka. Menghancurkan temu kangen mereka yang belum usai. Aku merusak semuanya. Tindakan bocahku, yang diumur seperempat abad ini, seharusnya menghasilkan sesuatu yang membanggakan mereka malah membuat mereka geleng–geleng kepala, kecewa.

Mau bicara apa aku? Tidak ada, atau, tidak bisa?
“Kami tidak memaksa kamu untuk langsung menerima dan memaafkan, Laras. Kami memang tidak merasakan apa yang sedang kamu rasakan, tapi kami peduli sama kamu. Laras juga butuh melupakan. Laras harus bisa merelakan dan mengikhlaskan, kami selalu yakin kamu kuat.” Mama Nia ikut berjongkok di depanku. Aku memilih mendengarkan dan menatap tanah yang tetap sama. “Laras, kami mau membantu kamu untuk keluar dari masalah itu. Tapi kalau kamu belum mau melakukan, usaha ini tidak berarti apa–apa.” Mama Nia mencoba meraih tanganku. Ada sedikit rangkulan yang kudapatkan. Aku seharusnya mengakui, melupakan itu kesulitan, aku belum sanggup dan entah sampai kapan akan seperti ini. Aku seharusnya tahu, sedewasa apa pun tubuh ini, jika perasaan tidak pernah rela meninggalkan apa yang salah, maka percuma. Perbaikan butuh waktu, kalimat itu tidak akan berarti apa–apa. Itu semua hanya kebohongan yang terus dipercayai padahal hati tidak pernah merelakan atau pun membiarkan pergi.

Sekuat apa pun aku ingin bertahan, jika pada akhirnya dia tetap dengan orang lain, maka pertahananku pun sia–sia. Aku akan menjadi tahanan untuk perasaanku sendiri. Yang seharusnya lepas dengan kebahagiaan yang lain, bisa menikmati dunia lebih baik dari yang kurasakan sekarang, malah memilih mengurung perasaanku pada ambang kesedihan. Ya, aku harus segera pergi. Bukti kenyataan yang masih membuatku baik–baik saja adalah petunjuk untukku harus segera melangkah menuju kebenaran. Aku tidak boleh menyalahkan siapa–siapa. Tuhan sudah menggariskan ini, takdir sudah berjalan dengan semestinya. Kurang diriku yang harus berubah, aku pasti bisa, aku memang seharusnya bisa, jika mereka telah percaya padaku, maka aku juga harus percaya untuk diriku.

Aku menghapus sisa–sia air mata dengan sembunyi, serendah mungkin, dengan alasan picik agar mereka tidak menyadari bahwa aku menangis. Menenangkan pikiran dan nyeri dalam hati, yang kurasa mustahil detik ini juga akan berakhir. Kuberanikan diri melihat Mama Nia yang masih setia berjongkok di depanku. Ia tersenyum, semakin meyakinkanku bahwa Laras pasti bisa melupakan. Ibu memelukku, mungkin ia juga tersenyum di belakangku. Helaan napas panjang terdengar dari Ibu. Aku takut Ibu terbebani dengan tindakan bodohku. Tetapi aku hanya bisa mengelus tangan Ibu yang melingkar di leherku.

“Maaf, Ma, Bu.” Mama Nia mengangguk, dan kurasakan kepala Ibu juga bergerak menandakan anggukan di punggunggku.

SENANDIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang