Gita langsung mengepalkan tangan, ketika mendapat pesan yang diyakininya berasal dari Faiz. Emosinya yang memang sedang tidak stabil, semakin meninggi saja. Entah spesies seperti apa Faiz itu, hingga tak gentar mengganggu Gita. Padahal sejak pertemuan pertama mereka, Gita selalu berperilaku dingin kepadanya.
"Gila ini cowok, kukernya kebangetan. Emangnya dia enggak ada urusan lain apa selain gangguin gue? Dasar cowok karatan!" ucap Gita dengan emosi.
Langsung saja Gita mematikan ponselnya agar tidak lagi diganggu oleh Faiz. Dia berjalan menuju Lia dan duduk di depan kursi roda kakaknya itu. Gita mengelus lembut tangan Lia.
"Kak, hari ini Gita ketemu sama cowok yang nyebelin abis. Cowok itu buat Gita harus nganterin dia ke kelasnya, nambahin masalah baru antara Gita sama Alea, maksa nganterin Gita pulang, minta kontak Gita, dan sekarang dia nge-chat Gita dengan kata-kata yang enggak mutu. Sumpah, ya, cowok itu kayak enggak punya kerjaan. Ngeselin banget. Mau Gita usir, tapi Gita enggak mungkin ngeluarin suara."
Gita menghentikan ucapannya sebentar, sambil menanti jawaban dari Lia. Namun. Lia sama sekali tidak menanggapi ucapan Gita. Gita semakin sedih, berbicara kepada Lia sama saja seperti berbicara kepada embusan angin. Tidak pernah ada sautan, meski keberadaannya memang ada.
Sikap diam Lia memang kerap mematahkan keyakinan Gita akan kesembuhan kakaknya. Namun. Gita pun yakin bahwa suatu saat nanti akan ada keajaiban untuk Lia yang membuat kakaknya kembali ceria seperti dulu.
"Kak Lia, walau Kakak enggak pernah ngejawab semua perkataan Gita. Tapi, Gita selalu yakin bahwa Kakak akan kembali seperti dulu dan kita bisa bercanda tawa bersama. Gita yakin." Gita memeluk tubuh Lia, mengeratkan harap agar Lia dapat kembali seperti sedia kala.
*****
Gita memasuki gerbang sekolahnya dengan wajah datar. Beberapa klakson kendaraan beroda dua dan empat yang memekakkan telinganya, serta teriakan orang di sekitar agar dirinya cepat menyingkir, sama sekali tidak dipedulikannya. Karena Gita merasa, tidak ada hal yang perlu membuatnya menyingkir. Toh, dia sudah berjalan dengan sebagaimana mestinya.
Meski Gita dingin dan nyaris tak pernah mengeluarkan suara, tetapi dia tidak pernah melamun. Matanya pun selalu terbuka lebar dan masih dapat melihat mana jalan kosong mana yang bisa dilewatinya.
"Awasssss!!"
Sebuah tangan menarik tangan Gita dari belakang dan langsung membawanya ke tepi dengan kekuatan super cepat. Gita terkejut. Dia lantas menoleh ke belakang dan melihat Faiz berdiri di sebelahnya.
"Hai, Vio. Kita ketemu lagi. Apa ini bukti nyata kalo kita emang jodoh?"
Gita tidak peduli. Dia langsung berjalan meninggalkan Faiz agar tidak berurusan lebih lama lagi dengan laki-laki itu. Sayangnya, Faiz masih gencar mengejar Gita, seperti hari kemarin. Tanpa dugaan, Faiz pun berani menarik tangan Gita dan menggandengnya secara paksa. Beberapa orang menatap mereka berdua dengan aneh. Tapi, bukannya merasa malu, Faiz malah semakin mengeratkan genggamannya.
Dengan segala cara Gita coba melepaskan genggaman tangan Faiz. Laki-laki itu lantas memanyunkan bibirnya karena penolakan Gita. Gita tak acuh. Dia berjalan semakin cepat meninggalkan Faiz, kali ini tujuannya adalah lantai tiga sekolahnya.
Matanya menatap sendu ke sebuah ruangan yang berisi banyak alat musik. Seketika sorot mata itu tertuju pada sebuah benda yang sangat dirindukannya untuk dimainkan. Sejak dulu Gita memang menyukai bermain piano. Maka ketika melihatnya di sini, terasa seperti ada getaran yang menggugah gairahnya untuk memainkannya.
Gita melirik sekeliling, terlihat suasana masih tidak begitu ramai. Dengan takut-takut, Gita pun masuk ke dalam ruang musik dan memainkan piano.
Gadis itu menarik napas sejenak, sedikit mengingat saat pertama kali ayahnya mengajarkan cara bermain piano padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Placido
Teen Fiction[COMPLETED] [BELUM REVISI] Bagi Gita, diam adalah jiwanya. Gita menyukai tenang, setenang embusan angin yang tidak terlihat, tetapi mampu memorak-porandakan. Gita benci berbicara. Menurutnya, berbicara sama saja membiarkan dirinya dekat dengan ora...