Dokter telah keluar dari ruang IGD, Gita dan Faiz langsung menghampirinya. Faiz menggengam tangan Gita yang tampak bergemetar, Gita tersenyum karena Faiz melakukan ini. Setidaknya inilah genggaman tangan terakhir sebelum Faiz kembali kepada Lia.
"Gimana keadaan kakak saya, Dok? Dia enggak punya sakit serius, 'kan?" tanya Gita kepada sang dokter.
Dokter tersebut malah menunjukkan raut menyesal. Hati Gita menjadi bertambah khawatir melihat ekspresi dari doketer itu, semoga tidak terjadi apa pun kepada Lia.
"Sejak kapan pasien mengalami kelumpuhan?" tanya dokter tersebut.
Gita memutar otaknya, kembali mengingat kapan Lia mengalami kelumpuhan.
"Sekitar satu tahun yang lalu," jawab Faiz.
Dokter tersebut kembali menampilkan wajah menyesalnya, seperti ada hal yang ingin dia samapaikan dengan berat hati.
"Setelah melakukan pemeriksaan, saya menemukan ada yang tidak beres dari tubuh pasien. Saya perlu melakukan beberapa tes untuk menguatkan dugaan ini, semoga saya salah. Tapi seluruh otot pasien memang sudah sangat kaku, mungkin karena tidak pernah digerakkan. Seharusnya dalam kasus kelumpuhan seperti ini sering dilakukan terapi otot, tapu sepertinya pasien jarang menggerakkan ototnya."
Mata Gita berkaca mendengar penjelasan dokter tersebut, mungkinkah ini berarti ada sesuatu hal kepada Lia? Tidak, Gita tidak ingin terjadi apa pun kepada Lia. Kakaknya harus baik-baik saja.
"Saya tadi sempat memberikan suntikan kepada pasien, sekarang dia sedang tidur. Sebentar lagi pasien akan dipindahkan ke kamar inap, kalian dapat menemuinya," kata dokter tersebut. "Saya pamit, Mbak, Mas."
Gita dan Faiz hanya melemparkan senyuman ke arah dokter tersebut. Setelah itu, Gita duduk di sebuah bangku dan menutupi wajahnya. Tangisnya kembali memecah, dia sedih melihat keadaan kakaknya.
Faiz tahu betul kesedihan Gita, dia langsung menghampiri Gita dan mengelus pundak Gita. "Udak, enggak usah terlalu dipikirin. Dokter 'kan bilang kalo dia membutuhkan tes untuk memastikan semua, jadi pasti hasil tes itu akan menunjukkan bahwa keadaan Lia baik-baik saja. Kamu gak perlu khawatir."
Guta mencoba tersenyum ke arah Faiz, rasanya perkataan Fais itu sangat berarti untuknya. Walau terdengar ringan, tetapi nyatanya perkataan itu mampu menenangkannya.
"Kamu pasti mau lihat keadaan Lia, 'kan? Ayo ke kamar inap Lia," kata Faiz sambil berdiri.
Gita menurut. Dia pun langsung berdiri, tangannya memegang Faiz erat-erat. Untuk kali ini dia menginginkan pegangan tangan Faiz untuk menguatkannya.
Faiz dan Gita menunggu seorang perawat memindahkan Lia ke kamar inap lantas mengikutinya. Mereka sabar menunggu dorongan tersebut, berjalan dengan hati berdebar. Beberapa ruangan mereka lalui, tampak beberapa orang yang memasang raut cemas. Langkah kaki mereka berhenti di lantai 4, kamar Rosalia 6.
Sang perawat menidurkan Lia di atas brankar kemudian mengatur infus Lia. Gita dan Faiz meneliti betapa telatennya perawat tersebut hingga selesai melakukan tugasnya. Setelah semuanya selesai, perawat tersebut keluar dari kamar Lia dan berkata jika ada sesuatu, Gita boleh menghubunginya di ruang perawat.
Gita dan Faiz berdua di kamar Lia, mereka sama-sama menghening. Gita terus mengelus rambut Lia dengan penuh kasih sayang, betapa dia ingin kakaknya segera sadar.
"Gita janji setelah Kakak sembuh nanti, Gita enggak akan jadi perebut semua kebahagiaan Kakak. Gita akan kasih kebahagiaan yang Kakak inginkan," ucap Gita sambil mengecup kening Lia.
Faiz tersenyum melihatnya, Gita terlihat sangat menyayangi Lia. Diam-diam Faiz merasa menyesal karena hampir merusak persaudaraan mereka.
"Maafin aku karena hampir saja aku merusak persaudaraan kalian. Aku janji, aku akan memberikan cintaku demi Lia. Aku akan kembali mengeratkan kalian, walau harus menyiksa batinku sendiri," kata Faiz kepada Gita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Placido
Teen Fiction[COMPLETED] [BELUM REVISI] Bagi Gita, diam adalah jiwanya. Gita menyukai tenang, setenang embusan angin yang tidak terlihat, tetapi mampu memorak-porandakan. Gita benci berbicara. Menurutnya, berbicara sama saja membiarkan dirinya dekat dengan ora...