Hati Gita gelisah menantikan gilirannya dalam kontes piano, rasanya seperti mimpi bahwa kesukaannya terhadap piano akan benar-benar diperlombakan. Antara yakin atau tidak Gita melakukan ini. Pasalnya menurut Gita, kemampuan bermain pianonya belumlah seberapa.
Tinggal tiga orang lagi sebelum Gita naik ke panggung, Gita bertambah was-was. Tangannya terasa dingin dan harus dihangatkan oleh genggaman tangan dari Faiz. Faiz memang saat tahu apa yang Gita butuhkan saat ini. Tanpa Gita menjelaskan hal yang sedang berkecamuk dalam hatinya, Faiz langsung mengambil tindakan dengan menggenggam tangan Gita.
"Udah, enggak usah gugup kayak gitu. Lakuin aja semampu kamu, perihal menang atau kalah 'kan urusan belakangan," kata Faiz menenangkan Gita.
Ya, Gita tahu itu. Menang dan kalah adalah dua hal yang biasa. Jika menang artinya kenikmatan, jika kalah artinya Gita terus berjuang. Namun, entah mengapa kali ini rasanya lain. Bermain piano seperti memberikan ketakutan kepada Gita, mengingat kali terakhirnya bermain piano adalah saat terakhirnya bersama Lia. Gita takut tidak dapat bermain piano dengan lancar mengingat dia masih belum terlalu mengikhlaskan kepergian Lia.
"Aku takut kalo nanti aku enggak kuat main piano, Faiz. Kamu tahu 'kan aku main piano terakhir kali itu sebelum Kak Lia meninggal," ucap Gita sambil menunjukkan raut kesedihannya. Dia mengingat mengingat peristiwa malam itu, ketika Lia ingin bernyanyi dan diiringi oleh Gita, yang mengantarkan Lia pada ajalnya.
Faiz dengan jelas melihat kesedihan Gita, dia tidak ingin Gita terus sedih begini. Faiz mencoba untuk mengambil tangan Gita, menenangkan hati gadis itu.
"Aku tahu bahwa saat ini bermain piano enggak lagi membawa ketenangan untukmu, aku pun tahu bahwa untuk saat ini bermain piano membawamu pada kesedihan karena kematian Lia. Namun, percayalah, dari atas sana Lia sedang mendoakanmu agar memenangkan kontes ini. Jadi, jangan membuat dia bersedih. Anggap aja orang yang ada di depanmu nanti adalah Lia, dia ingin melihatmu bermain piano lagi. Bayangkan dia tersenyum mendengar lantuan pianomu lalu berlari memelukmu ketika kamu selesai memainkannya. Mengerti?"
Gita mendengarkan ucapan Faiz dengan seksama lalu menganggukkan kepalanya. Dia akan coba mengingat perkataan Faiz ketika sampai di panggung nanti, menganggap semua yang ada di hadapannya adalah bentuk perwujudan dari Lia.
"Aku akan coba, Faiz." Gita tersenyum ke arah Faiz.
Faiz lantas mencubit hidung Gita. "Pacarnya Faiz pasti bisa."
"Ish, apaan banget sih kamu. Alay dasar."
"Iya aku alay, tapi cinta, 'kan?" Faiz mengedip genit ke arah Gita.
"Gak!"
Gita langsung mengesampingkan wajahnya, menutupi wajahnya yang sedang tersipu. Jangan sampai Faiz tahu jika Gita sedang bahagia dengan perlakuannya, bisa-bisa Faiz besar kepalanya.
Detik pun seakan berjalan dengan begitu cepatnya, tersisa satu peserta lagi sebelum Gita naik ke panggung. Rasanya Gita makin deg-degan. Dia coba menenangkan dirinya, menarik napasnya untuk menenangkan jiwanya. Lebih baik sekarang.
"Gita!"
Gita dan Faiz langsung menolehkan kepalanya ketika mendengar teriakan tersebut, mata keduanya menangkap sosok Alea yang berlari ke arah mereka. Keduanya linglung, bagaimana bisa Alea ada di sini?
"Hai, Gita, Faiz. Hahaha. Kalian ada di sini juga?" tanya Alea ketika sampai di hadapan Faiz dan Gita.
Keduanya saling mengangguk.
"Iya, gue mau ikut kontes piano. Faiz tuh iseng daftarin gue," kata Gita sambil melirik sekilas ke arah Faiz. "Lo sendiri—"
"Gue mau ikut lomba juga," kata Alea memotong ucapan Gita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Placido
Novela Juvenil[COMPLETED] [BELUM REVISI] Bagi Gita, diam adalah jiwanya. Gita menyukai tenang, setenang embusan angin yang tidak terlihat, tetapi mampu memorak-porandakan. Gita benci berbicara. Menurutnya, berbicara sama saja membiarkan dirinya dekat dengan ora...