Tredecim - Sedikit Tentang Alea

49 12 0
                                    

Alea menatap ke arah luar jendela rumahnya, matanya menghunus tajam ke pemandangan luar rumahnya. Terulang lagi. Ya, terulang lagi segala kesunyian ini. Alea benci. Dia benci tidak dianggap dan ditinggalkan sendiri seperti ini.

Alea merasa sudah memiliki segalanya, lengkap. Dia memiliki kecantikan, kekayaan, serta apa yang selama ini diidamkan oleh banyak orang. Namun, satu yang tidak dia miliki, perhatian. Selalu saja dia merasa kurang perhatian, seakan dia hanya hidup sendiri, tanpa ada yang memedulikan hadirnya.

Keluarga? Mereka memang ada, tetapi selalu sibuk bekerja dan menomor duakan Alea.

Di sekolah Alea adalah bintang, dia dapat melakukan semua hal yang dia suka, tanpa ada batasan. Semua temannya pun tunduk kepadanya, bagaikan dayang yang selalu menuruti apa yang dikatakan oleh sang ratu. Namun, hatinya tetap saja merasa kosong. Ibaratnya, dia adalah makhluk kecil di antara gemerlap dunia.

Azka, rasanya hanya Azka yang paling mengerti mau Alea. Dia senantiasa memberikan Alea perhatian, persis yang diinginkan Alea selama ini. Alea sangat mencintai Azka, sampai-sampai dia rela melakukan segala hal yang Azka perintahkan, termasuk mengganggu Gita.

Bicara soal Gita, Alea sangat iri kepadanya. Walau Gita telah kehilangan keutuhan keluarganya, tetapi gadis itu masih terus terlihat baik-baik saja. Tidak seperti Alea yang harus melampiasan segala kekosongannya agar dia tidak terlihat rapuh.

"Kenapa gue selalu ngerasa kosong? Kenapa gue selalu ngerasa sendiri? Gue mau bahagia, gue mau bisa ketawa, dan ngelupain semua kesedihan gue," kata Alea dengan mata berkaca-kaca.

Alea lalu membalikkan tubuhnya, punggungnya disandarkan pada balkon kamarnya. Tubuh Alea tiba-tiba merosot, dia terduduk di lantai sambil berpandangan kosong.

"Gita, gue benci setiap dia tampil ke depan. Gue iri sama dia karena gue enggak punya hal yang dia punya. Gue pengin ngelihat dia jatuh sejatuh-jatuhnya karena itulah yang membuat gue bahagia."

Alea mulai menutup matanya, tangisnya mulai pecah karena merasa kesepian. Malam-malam terasa berat untuknya, hingga membuatnya membenci sang malam. Biasanya pun dia ditemani oleh Azka dalam menghadapi malam, tetapi Azka tidak hadir karena sedang bermain futsal.

Ponsel Alea tiba-tiba menyala, dia langsung melihat ponselnya. Netranya berbinar ketika melihat Azka menghubunginya, Alea segera mengangkatnya. Memang, hanya Azka yang selalu hadir di saat Alea membutuhkannya.

"Hai, Sayang."

Mulai tercetak senyuman dari bibir merah Alea, ucapan pembuka itu benar-benar membuat seluruh kekosongannya menghilang. Kehadiran Azka selalu menenangkan diri Alea yang sering kalang kabut.

Alea sangat mencintai Azka, walau dia tahu bahwa Azka bukan laki-laki yang sepenuhnya baik.

*****

Nyes ....

Faiz datang dan menempelkan sebuah minuman dingin ke pipi Gita. Gita sontak menatap Faiz dengan kesal, wajahnya menunjukkan hasrat ingin menerkam Faiz. Namun, bukannya merasa takut, Faiz malah terkekeh melihat ekspresi Gita.

"Rese banget, ish," kata Gita sambil memanyunkan bibirnya.

Faiz semakin terkekeh melihat ekspresi Gita. Rencana jail pun kembali mengelilingi otaknya, dia mencubit pipi Gita. Gita berteriak kesakitan, Faiz semakin puas.

"Diminum dong, udah dibeliin juga," ucap Faiz ketika melihat Gita tidak menyentuh minuman pemberiannya.

"Males, dingin. Bikin ngilu."

Faiz terkekeh kecil mendengar itu. Dia terdiam sambil mengamati wajah kesal Gita, membiarkan gadis itu melakukan hal sesukanya. Kemudian Faiz mengambil minuman Gita, memutarnya ke arah kanan, dan meneguknya.

"Minuman seenak gini kok ditolak, dasar kufur nikmat," ucap Faiz menggoda Gita.

Gita lantas merebut minuman tersebut, bersiap meminumnya. "Gue enggak kufur nikmat, ya. Gue cuma males sama yang terlalu dingin."

Faiz geleng-geleng mendengar ucapan Gita. "Minuman itu kayak lo lagi, enggak usah sok ngeluh dingin deh."

Gita mengernyitkan dahinya, tidak mengerti apa yang Faiz maksudkan. Gita sama seperti minuman itu? Faiz tidak salah?

"Minuman ini kayak lo, dingin dan menciptakan sensasi. Walau dingin, tetapi mampu melepas dahaga. Kayak lo, meski dingin, lo mampu menarik perhatian gue agar terus mendekat. Dan rasanya gue selalu merasakan dahaga ketika dekat sama lo."

Wajah Gita langsung memerah medengar itu, Faiz aneh-aneh saja. Memangnya Gita adalah lapangan yang memaksanya untuk lari marathon hingga menimbulkan dahaga. Gita hanyalah gadis biasa, tidak teralu istimewa untuk banyak orang. Namun, berbeda dari yang lain, Gita memiliki kharisma melalui diamnya.

"Besok ada acara?" tanya Faiz coba mencari topik lain.

Gita langsung menggeleng. "Mau ajak gue ke mana?"

"Cie berharap gue ajak pergi, cie mulai nyaman sama gue. Cie ... cie ...."

Geplak!!!

Gita langsung menjitak kepala Faiz agar laki-laki itu berhenti berbicara. Gita pun melipatkan tangannya di atas dada, berpura-pura kesal.

"Enggak usah sok ngambek, jelek banget muka lo kalo gitu," kata Faiz sambil berkedip jail.

Gita sontak menutup wajah Faiz dengan tangannya, kesal melihat mata Faiz yang lebih mengarah pada orang bintitan. "Berisik!"

Faiz menjauhkan tangan Gita dari wajahnya, membuat tangan itu kembali pada posisi semula. Faiz geleng-geleng melihat perilaku Gita, suka main tangan. Namun, terlepas dari hal itu, Faiz suka Gita yang begini, lebih menyenangkan. Dan rasanya, itulah hal yang membuat Faiz tidak ingin jauh dari Gita.

Faiz lantas menoel hidung Gita, membuat gadis itu merasa geli. "Pokoknya besok jangan pulang dulu, kita pulang bareng. Oke?"

"Biasa juga lo jadi satpam depan kelas gue dan narik tangan gue buat pulang bareng, sok nyuruh nungguin," balas Gita.

Faiz terkekeh mendengar itu, benar juga. Memang sejak pertama mereka bertemu, Faiz suka melakukan hal yang disebutkan oleh Gita. Mau bagaimana lagi, jika tidak dibegitukan, Gita tidak akan menurut.

"Masih inget aja, gue udah lupa padahal," kata Faiz, "pokoknya lo besok harus semedi dulu di dalam kelas dan tunggu sampe gue jemput lo, Tuan Puteri."

Gita mengangkat bahunya tanda setuju. Mau menolak? Untuk apa? Gita bahagia diajak Faiz pergi. Bahkan sekarang pun Gita sedang menerka apa yang akan Faiz lakukan, pasti sesuatu yang berkesan. Gita tidak sanggup membayangkannya, karena apa pun yang dibayangkannya, pasti salah. Faiz selalu memberikan hal yang tidak terduga.

Sementara itu, Alea dari sudut belakang terus mengamati Gita dan Faiz yang sedang berduaan. Alea mulai tersenyum licik, kembali dia menemukan cara untuk menjaili Gita.

"Gue baru inget, Faiz adalah kelemahan Gita. Gita selalu tahan sewaktu gue nyakitin dia, tapi dia enggak pernah tahan waktu ngelihat Faiz terluka."

Alea melipat tangannya di atas dada, pandangannya masih tertuju kepada Gita dan Faiz. "Gue akan jadiin Faiz sebagai alat buat bikin Gita merasakan sakit, sekaligus ngebuat dia nyesel karena udah ngebuka diri buat Faiz. Gue yakin itu cukup menyakiti dia. Dan gue bisa ngerasain bahagia ketika ngelihat dia terluka."

*****

Update, yeyyyyy. Enggak jadi utang, wkwkwk. Bikos utang itu berat, daku tak kuat.

-Semarang, 26 Maret 2018-

PlacidoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang