Gita buru-buru keluar dari rumahnya, merasa was-was karena hari ini dia bangun kesiangan. Penyebab utamanya karena semalam dia terus berbincang dengan Faiz hingga larut dan membuatnya tidur malam. Merindukan Faiz benar-benar membawa pengaruh besar bagi Gita. Dari yang semula dia suka diam, seketika berubah menjadi banyak bicara atas nama rasa rindu.
Tin ... tin ....
Gita tersontak ketika mendengar suara klakson mobil saat dia sedang menutup gerbang rumahnya. Gita coba menelliti siapa pemilik mobil yang telah memekakkan telinganya. Di saat yang sama, si pemilik mobil mulai turun dan berjalan menghampiri Gita. Gita terbelalak melihatnya. Faiz, dialah pemilik mobil itu. Gita langsung menepuk jidatnya, tiba-tiba teringat bahwa hari ini Faiz hendak mengantarkannya ke sekolah.
"Semalam tidur malam banget, ya? Sampe lama banget gitu keluarnya. Gue jamuran karena kelamaan nungguin lo," kata Faiz sambil melipat tangannya di atas dadanya.
Gita hanya dapat menyengir sambil menampakkan gigi grahamnya yang sudah disikat bersih. "Sorry."
Faiz mengangkat bahunya. "It's, okay," katanya, "berangkat sekarang, yuk."
Gita membalasnya dengan anggukan. Setelah itu, Gita dan Faiz masuk ke dalam mobil Faiz. Mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi, memburu waktu agar dapat sampai di sekolah sebelum pintu gerbang ditutup.
Sepanjang jalan, Gita jantung Gita terus dag-dig-dug, takut jika gerbangnya sudah dikunci. Untunglah hari ini Faiz menjemput Gita sehingga dia tidak perlu menaiki angkutan umum untuk menuju sekolahnya.
Tepat tujuh menit Faiz dan Gita tiba di sekolahnya, untung belum terlambat. Gita akui Faiz sangat lihai daam menyetir, menerobos beberapa celah yang dapat menyelamatkan mereka dari kata 'terlambat'.
Gita turun dari mobil Faiz, Faiz langsung menggandeng tangan Gita. Gita melemparkan tatapan tajam ke arah Faiz agar segera melepaskan tangannya, tetapi Faiz malah semakin mengeratkannya. Alih-alih, Faiz berjalan dengan cepat dan otomatis menarik tubuh Gita.
Puluhan pasang mata memandang mereka dengan bingung, Faiz masa bodo. Gita tersenyum sembunyi karena perilaku Faiz, diam-diam dia merasa bahagia karena sikap manis Faiz. Rasanya ada yang berbeda jika seseorang memperlakukannya dengan seistimewa ini.
"Nanti istirahat gue tungguin di taman kayak biasa, ya. Gue ke kelas dulu. Bye, cewek kutub." Faiz langsung pergi meninggalkan Gita. Dia menyebrangi lapangan, berjalan santai menuju kelasnya.
Gita tersenyum melihat kepergian Faiz. Dia melirik arlojinya, sebentar lagi gurunya pasti datang. Langung saja Gita memasuki ruang kelasnya, matanya menjurus pada bangku paling pojok yang biasa dia duduki. Beberapa temannya menatap Gita dengan sinis, ada juga yang saling berbisik. Gita merasa tidak peduli, tidak penting memikirkan perilaku mereka.
Gita mulai mendudukkan pantatnya di kursi, matanya langsung menangkap Alea yang terlihat berjalan ke arahnya. Dari sudut lain, dia menangkap Azka sedang menatapnya dengan licik. Gita mengerti, pasti pasangan iblis itu akan kembali beraksi.
"Hai, Batu," sapa Alea kepada Gita.
Gita tidak menggubris, tidak penting. Keberadaan Alea dianggapnya sebagai roh halus yang tidak perlu dipedulikan adanya.
"Sombong, ya, lo. Disapa enggak jawab, gagu bener. Perasaan tempo hari lo habis ngamuk deh ke gue," kata Alea coba menggoda Gita.
Gita masih tidak mengacuhkan Alea. Lebih parah lagi, Gita malah menyerongkan tubuhnya, berniat mengambil earphone dari dalam tasnya. Alea kesal melihat dirinya tidak dianggap.
"Eh, Batu, lo kok ngeselin abis, sih," kata Alea kesal. Lalu dia memutar otaknya, mencari cara agar dapat menjaili Gita. "Oh, gue ngerti kenapa lo enggak mau ngomong. Lo cuma mau ngomong sama Faiz, 'kan? Hahaha. Maklumlah, cewek model lo 'kan doyannya sepik cowok. Wajar gue rasa, lo itu 'kan—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Placido
Novela Juvenil[COMPLETED] [BELUM REVISI] Bagi Gita, diam adalah jiwanya. Gita menyukai tenang, setenang embusan angin yang tidak terlihat, tetapi mampu memorak-porandakan. Gita benci berbicara. Menurutnya, berbicara sama saja membiarkan dirinya dekat dengan ora...