Faiz incoming call.
Gita langsung menekan tombol merah pada layar ponselnya ketika mendapatkan telepon dari Faiz. Tidak, Gita tidak boleh dekat lagi dengan Faiz. Dia tidak ingin ada masalah baru yang timbul jika dia terus dekat dengan Faiz. Sudah cukup hari ini Alea mencari-cari masalah karena kedekatan antara Gita dan Faiz, tetapi tidak untuk lain waktu.
Bicara menyesal atau tidak, tentu Gita menyesal karena harus mengakhiri kedekatannya bersama Faiz dengan cara yang seperti ini. Dia senang berada di dekat Faiz, bahkan cenderung nyaman. Namun, Gita pun tahu bahwa Alea tidak akan membiarkan hidupnya bahagia. Alea memiliki dendam kesumat kepada Gita yang tidak akan pernah mereda sampai dunia menemui ujungnya. Dan karena Gita tidak ingin Faiz jadi ikut terkena masalah, dia terpaksa meminta Faiz untuk menjauh.
Gita mulai berjalan menuju sebuah meja kemudian menarik lacinya. Gita memasukkan ponselnya ke dalam laci tersebut, agar Faiz tidak terus menghubunginya. Gita ingin sendiri, dia ingin menikmati duninya. Dia tidak ingin diganggu oleh siapa pun, terutama Faiz.
Kaki Gita kembali dilangkahkan, kali ini dia menuju ke kamar Lia. Gita menurunkan knop pintu kamar Lia dan mendorong pintu tersebut ke depan. Netranya menatap Lia yang sedang disuapi oleh Bi Narsih, Gita berpura-pura tersenyum.
"Loh, Mbak Gita kok udah pulang?" tanya Bi Narsih yang merasa heran melihat kedatangan Gita.
Gita tidak langsung menjawab, dia memilih untuk bergerak mendekati Lia lebih dulu. "Kemarin Gita enggak begitu dengerin pengumuman, lupa kalo hari ini sengaja diliburin karena ada penilaian akreditasi sekolah, Bi."
Bi Narsih berohria mendengarkan penjelasan Gita, tidak ada kecurigaan sama sekali jika Gita sedang berbohong. Sementara itu, Gita merasa jika tidak sanggup lagi membendung air matanya karena masalah di sekolahnya. Sedari tadi air matanya ingin ditumpahkan, tetapi malu kepada Bi Narsih.
"Bi, bisa tolong tinggalkan Gita dan Kak Lia dulu? Gita ingin ngomong berdua sama Kak Lia," kata Gita kemudian.
Bi Narsih menurut. "Baik, Mbak, saya akan keluar. Mari, Mbak."
Gita membalasnya dengan senyuman.
Setelah Bi Narsih pergi, Gita duduk bersimpuh di depan kursi roda Lia. Matanya menatap mata kosong Lia dengan sendu, ada kerinduan yang tidak mampu lagi dibendungnya. Gita lantas menarik napasnya, berusaha menahan kesakitannya. Hening menyelimuti, Gita berusaha menguatkan dirinya sendiri. Namun, gagal. Tangisnya pecah juga.
Gita sesenggukan di depan Lia. Dia yang biasanya berbicara lebih dulu, baru menangis. Kali ini tidak. Tangisnya langsung pecah ketika bayangan masalah hidupnya muncul secara bergantian. Berpisah dari keluarga, hidup dalam diam, bermasalah dengan Alea dan teman-temannya yang lain, serta harus menjauh dari Faiz. Gita tidak sanggup menyimpannya sendiri.
Benar bila selama ini Gita berkata bahwa diam adalah dunianya, tetapi tidak. Gita sedang berbohong. Diam adalah caranya untuk menghindari masalah, agar tidak banyak orang yang masuk dan menciptakan masalah baru. Gita berusaha menikmati diam supaya dia terbiasa hidup sendiri, supaya dia tidak bergantung pada orang lain. Namun, tidak, Gita membutuhkan sandaran. Dan untuk saat ini, sandarannya hanyalah Faiz. Dialah satu-satunya yang mampu membuat Gita merasa nyaman, menciptakan tawa ketika bersamanya, dan meyakinkan Gita bahwa dunia tidak sekejam yang Gita pikirkan.
Gita merasa ada yang lain dengan Faiz, semacam perasaan baru yang tidak dia megerti. Namun, Gita juga tidak ingin membawa Faiz ke dalam masalahnya dengan Alea. Cukup dia saja yang dipermalukan oleh Alea, Faiz jangan. Gita tidak mau Alea berusaha menjatuhkan Faiz seperti yang sedang dia lakukan kepada Gita.
Gita mulai menarik napasnya, tangannya diarahkan untuk mengusap air matanya. Gita menggenggam tangan Lia, kesakitannya kembali hadir.
"Kak, Gita udah ngelakuin kesalahan. Enggak seharusnya Gita deket sama dia," kata Gita dengan sesal. Lantas kepalanya ditundukkan ke bawah, matanya menatap ke arah keramik. "Andai Gita enggak mencoba untuk membuka diri sama dia, mungkin Gita enggak akan dipermalukan di depan umum seperti ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Placido
Teen Fiction[COMPLETED] [BELUM REVISI] Bagi Gita, diam adalah jiwanya. Gita menyukai tenang, setenang embusan angin yang tidak terlihat, tetapi mampu memorak-porandakan. Gita benci berbicara. Menurutnya, berbicara sama saja membiarkan dirinya dekat dengan ora...