Viginti Novem - Setelah Kepergian Lia

67 7 0
                                    

Semua pelayat sudah saling berpergian dari pusara Lia, tetapi Gita masih belum mau beranjak dari tempatnya. Dia terus saja mengelus batu nisan Lia, masih belum mengikhlaskan kepergian kakaknya itu. Rasanya baru kemarin dia merasakan kehangatan kakaknya, merasakan bagaimana sayangnya Lia kepadanya. Namun, semalam seolah menjadi hantaman terbesar dalam diri Gita. Tidak pernah dia bayangkan jika dia akan kehilangan Lia secepat ini. Tidak bisakah Gita diberi waktu lebih banyak lagi bersama Lia? Tidak bisakah Gita merasakan kehangatan dari Lia? Juga tidak bisakah mereka saling bertukar cerita selayaknya kakak beradik pada umumnya? Tidak bisakah?

Gita belum sepenuhnya menerima kepergian Gita, ink terlalu mendadak untuknya. Pemikiran Gita pun terus memunculkan pengandaian yang bertolak belakang dengan realita, dia sangat menyayangkan dengan apa yang terjadi.

Untuk saat ini tidak ada yang Gita inginkan selain kembalinya Lia kepadanya. Dia ingin kakaknya tersenyum ke arahnya, memeluknya, berbicara kepadanya, dan memarahinya. Gita ingin begitu. Bahkan jika berselisih dengan Lia dapat mengembalikan Lia, Gita pun rela berselisih selamanya dengan Lia.

"Kak Lia, kenapa Kakak secepat ini ninggalin Gita? Kakak masih marah sama Gita? Kakak masih merasa tersaingin? Gita akan pergi dari kehidupan semua orang kalo Kakak mau. Tapi, Kak, Gita mohon kembali, jangan tinggalan Gita begini. Gita enggak bisa kalo tanpa Kak Lia." Gita mengelus batu nisan Lia dengan lembut, membayangkan bahwa yang dielusnya adalah Lia. Dia sangat merindukan kakaknya.

Faiz langsung merangkul tubuh Gita, dia sudah tidak tahu lagi bagaimana cara menghibur Gita. Rasanya dia hanya dapat menabahkan gadis itu, tanpa menghilangkan rasa sakitnya.

"Kamu harus tabah, Vio. Lia pasti sedih melihat seperti ini. Ikhlaskan Lia, Vio. Biarkan tenang di sisi-Nya."

Gita langsung menggelengkan kepalanya, tidak mungkin dia dapat merelakan Lia. Gita sangat menyayangi Lia, bahkan dia rela jika harus mengorbarkan dirinya untuk Lia. Dan sekarang Lia meninggalkannya, bagaimana Gita bisa ikhlas.

"Aku enggak bisa ikhlasin Kak Lia, Faiz. Gimana aku bisa ikhlas kalo dia adalah orang yang paling aku sayang, aku enggak akan bisa," ucap Gita tidak sanggup melupakan Lia.

Faiz pun memutar otaknya, mencari cara agar dapat menenangkan hati Gita. Faiz ingin Gita melupakan Lia, dia tidak ingin Gita bertambah sakit karena terus teringat tentang Lia.

"Kita sama-sama kehilangan, bukan cuma kamu aja yang sedih atas kehilangan Lia. Kamu memang sedih atas kematian Lia, tapi enggak pernahkah kamu berpikir bahwa orang tua kamu lebih sedih kehilangan Lia daripada kamu? Vio, mereka yang melahirkan Lia, membesarkan Lia. Mereka mengorbankan seluruh apa yang mereka miliki untuk Lia. Mereka adalah orang yang paling kehilangan Lia."

Gita terdiam mendengarnya, dia paham betul apa yang dimaksudkan Faiz. Namun, Gita bisa apa? Dia hanya gadis lemah yang sedang merasa sedih karena kehilangan kakak yang sangat dicintainya. Yang saat ini Gita butuhkan adalah penguatan, setidaknya itulah yang membuat Gita tidak lagi merasa sendiri.

Faiz meraih tangan Gita, dia ingin berbicara dari hatinya kepada Gita. Bagaimanapun Faiz sangat mencintai Gita, dia tidak ingin Gita terus begini. "Seharusnya kamu menjadi penguat bagi orang tuamu, kamu enggak boleh lemah semacam ini. Mereka telah kehilangan satu anaknya dan harusnya jangan biarkan mereka merasa kehilangan satu anaknya juga. Kembalilah menjadi Viona Anggitia yang dulu, yang menjadi kebanggaan orang tuamu. Jangan siksa diri kamu karena kehilangan Lia."

Gita langsung menyandarkan kepalanya di pundak Faiz ketika Faiz mengatakan hal itu. Yang dikatakan Faiz adalah benar, seharusnya Gita menguatkan orang tuanya bukan malah terpuruk seperti ini.

"Bantu aku, Faiz. Bantu aku untuk melupakan kesedihan kita karena kehilangan Lia, cuma kamu yang bisa membantuku. Tolong, tetap di sini, jangan tinggalkan aku," ucap Gita kepada Faiz.

PlacidoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang