Ruangan kelas X-2 tampak lebih riuh dibanding kelas kelas lainnya. Beberapa penghuni kelas X-2 saling menyibukkan diri guna mengisi waktu luang mereka. Ada yang bermain ponsel untuk membalas chat ataupun memainkan game online, bergosip, serta ada pula yang belajar guna persiapan mata pelajaran berikutnya.
Namun, semua itu tidak berlaku bagi laki-laki bernama Azka. Beberapa opsi dalam mengisi waktu luang tersebut sudah tergolong basi dan tidak menarik baginya. Dia lebih suka mengganggu Gita dan membuatnya kesal, dibanding harus melakukan hal yang telah disebutkan di atas.
Azka mulai menghampiri Gita yang tampak sedang menulis sesuatu sembari mendengarkan lagu menggunakan earphone-nya.
Azka bersiul ke arah Gita lantas berkata, "Cewek, senyum dong."
Gita tidak menggubris. Dia lebih memilih untuk memenuhi kertas yang ada di depannya dengan tulisan, dibanding meladeni laki-laki kurang kerjaan itu.
"Aduh sombong banget, sih. Ngomong dong," ucap Azka lagi, masih tidak gentar menggoda Gita yang tak acuh padanya.
Sret ....
Sebuah garis panjang tercetak di kertas yang sejak tadi ditulis oleh Gita. Wajah Gita seketika memerah, matanya menatap Azka dengan penuh amarah. Rasanya dia ingin membentak dan memberi balasan atas apa yang baru saja Azka lakukan, tetapi enggan dilakukannya. Toh, untuk apa? Itu hanya akan membuang-buang waktunya.
Gita pun berdiri dari posisi duduknya, tangannya berusaha menggapai pulpen yang tadi direbut paksa oleh Azka. Namun, ketika Gita berusaha menggapai pulpen tersebut, Azka terus saja menggodanya. Lebih parah lagi, Azka mengarahkan pulpen Gita ke atas dan meminta Gita meraihnya. Memang benar jika Gita dikategorikan sebagai cewek yang tinggi dan dapat menggapai pulpen itu dengan mudah. Akan tetapi, Gita malas melakukannya.
"Lo payah banget, ya? Masa ngerebut pulpen dari gue aja enggak bisa. Dasar lemah!"
Telinga Gita panas. Ingin rasanya dia membalas perkataan menyebalkan Azka, tetapi itu sama saja masuk dalam jebakan Azka. Gita pun tahu alasan utama Azka melakukan ini, yakni untuk menaikkan kadar emosinya. Gita sudah terbiasa dengan trik semacam ini karena memang teman-temannya suka melakukan hal yang sama.
Di sisi lain, Azka semakin dibuat kesal karena Gita tidak menggubris aksinya. Azka mulai memutar otaknya untuk mencari cara agar dapat membuat Gita kesal. Dan, ya, Azka menemukan cara baru dalam mengerjai Gita.
Azka tersenyum licik, tangannya membuka tutup pulpen Gita dan mengeluarkan isinya. Dia memosisikan isi pulpen tersebut tepat di depan mata Gita, lantas mematahkannya.
Emosi Gita langsung naik melihat tingkah kurang kerjaan Azka. Dia tidak habis pikir mengapa Azka bisa melakukan hal tidak penting semacam ini. Gita tahu betul bahwa Azka hanya ingin menaikkan kadar amarahnya, tetapi mengapa harus dengan cara seperti ini? Jelas ini bukan tentang harga pulpen yang dapat dibeli dengan budget tiga ribu rupiah, juga bukan tentang Gita yang tidak dapat membeli baru. Melainkan tentang makna menghargai hal kecil yang ada dalam hidup seseorang, dalam hal ini adalah pulpen.
"Ayo marah dong, gue kan udah matahin pulpen lo," kata Azka yang untuk kesekian kalinya tidak digubris oleh Gita.
Lama-kelamaan Azka lelah juga karena Gita tidak menjawab satu pun perkataannya. Jangankan marah, mengehela napas di depannya pun tidak. Lalu terpikirkan olehnya untuk melakukan hal yang pasti membuat Gita marah padanya. Azka yakin, cara ini pasti berhasil.
Dengan penuh kesadaran, Azka mendorong kepala Gita hingga berbenturan dengan tembok. Gita langsung meringis kesakitan, kepalanya terasa berdenyut karena ulah Azka. Dia memegangi kepalanya, mengerjap-tutupkan matanya agar dapat menghilangankan rasa peningnya. Samar-samar dia melihat Azka tersenyum penuh kepuasan.
Emosi Gita seketika meninggi. Dia segera bangkit dari posisi duduknya, mendorong tubuh kekar Azka hingga tersungkur. Penghuni kelas yang melihat ini sontak terkaget. Gita tidak peduli. Dia langsung berjalan ke meja guru dan mengambil spidol yang ada di meja tersebut. Kebetulan di meja tersebut juga terdapat kertas HVS, jadi dapat Gita manfaatkan untuk melancarkan aksinya.
Langkah kaki Gita kembali mengarah ke tempat Azka berada. Dia langsung menempelkan kertas yang dipegangnya tadi ke jidat Azka. Seperti biasa, Gita tidak mengucapkan apa pun kepada Azka.
Lo tahu kecoa, 'kan? Binatang paling menjijikkan seantero jagad raya. Gue benci banget sama kecoa! Tapi, seenggaknya kecoa bakal pergi ketika diusir. Enggak kayak lo yang terus ganggu, walau enggak pernah gue gubris. Jadi, masih mau jadi makhluk yang lebih hina dari seekor kecoa?
Kurang asem! Azka langsung meremas kertas yang Gita berikan. Bisa-bisanya Gita menyamakan Azka dengan seekor kecoa, bahkan menilai Azka lebih rendah dari binatang yang satu itu.
"Dasar batu! Hobinya diem, tapi sekalinya ngatain suka nyelekit. Kamvret!" ucap Azka dengan penuh amarah.
Laki-laki yang ada di belakang Azka sontak menertawakannya karena kalah dengan manusia batu seperti Gita.
"Percuma lo jadi cowok keren kalo sama cewek batu apung kayak dia aja kalah. Enggak malu, Sob?"
Seisi kelas sontak tergelak mendengar hinaan laki-laki itu. Emosi Azka pun memuncak, Gita telah membuatnya malu di depan umum. Seketika wajah Azka memerah. "Lo semua bisa diam, nggak? Berisik! Gue enggak bakal kalah sama si batu. Mungkin sekarang gue kehilangan kesempatan aja buat bales dia, tapi lihat aja nanti. Gue bakal kasih balasan yang lebih parah dari ini."
Seorang gadis menepuk pundak Azka dari belakang, laki-laki sontak menoleh ke arah belakang. "Tenang, Sayang. Cewek angkuh itu bakal nerima ganjaran atas apa yang dia lakuin. Lihat aja apa yang bakal seorang Alea lakuin ke dia."
Azka tersenyum licik ke arah Alea, memang hanya Alea yang paling mengertinya. Mereka pun saling beradu siasat, merancang cara untuk mengerjai Gita. Entah apa yang membuat mereka sebenci itu kepada Gita, tetapi memang sejak dulu mereka senang merecoki Gita. Karena bagi mereka, Gita adalah gadis aneh yang hampir punah dan harus dilestarikan dengan cara digoda.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Placido
أدب المراهقين[COMPLETED] [BELUM REVISI] Bagi Gita, diam adalah jiwanya. Gita menyukai tenang, setenang embusan angin yang tidak terlihat, tetapi mampu memorak-porandakan. Gita benci berbicara. Menurutnya, berbicara sama saja membiarkan dirinya dekat dengan ora...