Narasi 5

609 9 4
                                    


Hidup hanyalah sepasang penggalan yang akan menjadi tinggalan, bukankah begitu? Bisa saja, kala itu aku menemukanmu dalam doa-doaku, dan begitupun kamu, menemukanku dalam setiap sujudmu. Sayangnya, tak setiap yang kita doakan dan kita sujudkan adalah hal paling nyata yang harus dijalani.

Empat puluh lima hari, yang sungguh aku tak pernah ingin mengulanginya lagi, dengan atau tidak bertemu denganmu. Bagaimana mungkin aku suka mengulanginya, jika pada akhirnya, kita akan kembali menjadi dua orang yang semakin lupa.

Kamu yang setiap pagi bangun lebih awal, menikmati dentingan embun di samping kolam ikan, dengan arabela (re: gitar kecil) yang menenangkan. Kamu yang selalu membuatku bisa bangun lebih awal, hanya untuk mendengarkan merdunya petikan gitarmu itu. Seperti pagi itu, tatkala mata-mata lain masih sibuk di atas kasur, dan sebagian sibuk menyelesaikan kewajibannya.

"Sungguh, berbicara denganmu, tentang segala hal yang bukan tentang kita, mungkin tentang ikan paus di laut, atau mungkin tentang bunga padi di sawah"

Hanya dengan duduk di sebelahmu, tempat yang memang biasa kamu siapkan, bahkan kerap kamu sisakan untuk ku tempati, atau dengan melihatmu dari kejauhan, sudah membuat hatiku makin berdegub dan menikmati setiap aliran darah ini.

"Jangan melihatku begitu"

Kamu, selalu mengucapkan kalimat itu, saat sorot mataku menangkapmu, dan seketika, tanganmu sudah menutup kedua kelopak mataku. Begitu saja sampai aku tersenyum lebar, atau memberengut kesal. Baru kamu akan melepaskan tanganmu.

Mmbersamaimu, kala itu, dengan arabela, adalah bagian yang paling ku suka, bagian yang paling tidak ku lupa, sebab darimu, aku mau kembali belajar menyentuhnya. Setelah menjadikan kita sebagai permata, dan mengusangkannya menjadi jeda. Aku masih sahaja mengingat ejaan arabela. Jangan beranjak menjauh, sebab, aku masih sahaja menunggu ejaanmu kembali, 

Narasi Tentang KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang