Narasi 9

303 8 2
                                    

Dia semakin merajut jarak

Menganyam rindu yang perih, lalu aku bisa apa?

Tuan waktu tetaplah pemenangnya

Dia egois, diktaktor tak kenal ampun

Dia bilang berpisah, maka pisahlah

Kini, aku mencoba tetap tegar

Aku tetap melangkah selambat mungkin

menikmati setiap mikro detik bersamamu

yang kelak ketika Tuan jarak semakin menggenggamku

Ketika kelak bendungan hati itu roboh, air mata ini akan membanjiri beranda wajahku

Tuhan, kuatkanlah aku

Peluklah aku dengan ketegaranmu seiring doa membanjiri ucapku

Terima kasih, atas semua kebahagiaan ini

Aku akan menunggu ketika kelak kau menjadi sajak milikku

Ketika kau kembali menagih kasihku

Aku mencintaimu, dari relung hatiku yang tak berujung

dariku, untukmu

penelisik mimpi

Diam-diam, semua kembali menyeruak ke permukaan. Saat ketidak sengajaanku menemukan beberapa baris puisi yang pernah kamu tuliskan atas nama kasih kepadaku.

Langit-langit malam ini menjadi begitu murung. Semua kembali pecah dan meronta saat playlist lagu yang terputar adalah "sampai jadi debu". Dulu, kamu suka sekali menyenandungkan lagu itu. Atau sekedar lagu "tak peduli berapapun berat badanmu nanti, kau tetap yang ter muah di hati". Kerlingan mata genit yang membuatku selalu mengumbar tawa. Begitu mudahnya kamu, membuatku benar-benar masuk di pusara nyanyianmu tentang kisah percintaan itu.

Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya. Hanya aku yang ditemani segelas air putih di ruangan sempit yang masih layak ku sebut sebagai rumah kedua. Aku, kembali menatap bayang-bayangmu, saat kamu mengedarkan pandangan untuk menangkapku di gelapnya malam. Seperti mata kucing yang tajam dalam persembunyian.

Kala itu, di sebuah pedesaan yang asri, berselimut kabut, aku berjalan keluar dengan ditemani jaket tebalku. Apa aku tak menyadari keberadaanmu? Jelas aku sadar, kamu duduk, di tepi kolam, di kursi panjang reot itu. Dengan sarung hijaumu, sebagai penutup tubuh dari kencangnya angin. Dan juga "Arabela" atau "clarinet" mu.

Aku kemana? Aku berdiri di depan rumah itu. Rumah itu. Disana. matamu leluasa memandangiku. Lambat waktu, kabut semakin menebal. Mungkin mataku kala itu tersapu, sampai pada akhirnya, aku tak menyadari keberadaanmu di sampingku.

"Jangan lama-lama di luar, dingin"

Usapan tanganmu di kepalaku, adalah hal paling meruntuhkan benteng pertahananku kala itu. Bagaimana tidak? Aku sedang menikmati hari-hari yang mungkin tak akan ku rasakan lagi. Nanti. Dan kamu, datang tanpa kata, hanya mengucap sepenggal kalimat, tatapan mata teduh, dan usapan tangan yang begitu lembut. Usapan yang sampai detik ini masih ku rindu.

Begitulah caramu, kala itu. Menaruh rasa dengan hanya menunjukkan bagian-bagian yang sederhana. Bisa jadi tidak, karena kamu kerap mengerjaiku.

Ya. Hanya dengan seperti itu saja, kita bisa bersama lama-lama, dan lama-lama pula pada akhirnya kita lupa rasa. 

Narasi Tentang KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang