Narasi 12 Sebuah narasi keberanian

257 3 0
                                    


Malam itu, suasana riang sekali. Bulan memantul dari kolam yang kita sedang lihat bersama-sama. Di sana, ada kamu, dan aku. Ada juga mereka bertiga. Denting arabela meramaikan hangatnya perkumpulan sahabat-sahabat itu. Nyanyian malam yang kerap kita dengungkan, adalah bunyi bunyi nyaring yang harus diperkecil agar tak mengganggu tetangga.

Kamu tidak akan percaya jika pria yang diam-diam suka mengikutiku selama menyiapkan makan, saat mencuci pakaian, diam-diam juga ia menganyam rasa yang hanya ditujukan padaku.

Malam itu, mereka menerka dengan pasti. Tentang apa yang kamu rasakan dan diam-diam kamu sembunyikan. Aku tak memahami jika kamu benar menaruh hati padaku. Aku bahkan hanya menganggapmu kakak kali itu. Kakak yang selalu menuruti rengekan adiknya untuk pagi-pagi beli pentol kuah, untuk pagi-pagi ke pasar, untuk pagi-pagi yang sibuk dengan segudang cucian, terlebih selalu bertambah jumlahnya ketika kamu, dan juga mereka kerap menitipkan cucian padaku, awalanya aku gusar. Mengapa harus aku yang kerap mencucikan bajumu? Kamu bisa bukannya? Namun, lambat hari aku menikmati itu, sebagai "kebiasaan dadakanku".

Akibat ulahmu, yang kerap menggodaku, akibat ulahmu yang kerap membuntuti kegiatanku, dan akibat ulahmu yang mendadak kerap meminta "telur mata sapi" saat masakan yang ada tak cocok dengan perasamu, akibat semua perilakumu yang kerap membelikanku es cream, membelikanku apa-apa yang aku suka. Hari itu, teman perempuan kita mendadak menggodaku.

"Dia menyukaimu, nak"

Aku mengabaikan dengan mantap setiap godaan-godaan mereka. Aku selalu menekan bahwa kita hanya sebatas teman yang saling menikmati waktu di tempat yang sama, mungkin nanti akan kita sebut sebagai rindu. Hingga, malam yang damai mengantarkan gelak tawa kita pada obrolan-obrolan bodoh. Riuh tawa mengikutinya.

Drrt.. drrrt.. Ibuku.

"Kau suka dengannya? Bicaralah pada ibunya!"

Aku mengumbar tawa dengan obrolan-obrolan hangat khas orang tua dengan anaknya. Yang pada akhirnya, kamu sudah merebut benda itu dari tanganku. Aku tak mengerti apa yang sedang tunggu dengan wajah menegang.

"Ibu ingin mantu seperti apa? Saya menyukai anak ibu"

DEG.

Jantungku terasa nyeri dan seolah berhenti berdegub mendengar kalimat yang sampai detik ini tak pernah ku lupa. Seketika semuanya hening. Bagaimana mungkin dengan bodohnya. kamu mengutarakan kalimat itu, sedangkan ibuku saja tak pernah bertemu denganmu. Hal bodoh apa yang kamu pikirkan kala itu?

Semua mata mengunci pandangku yang saat itu berdiri tegap di hadapanmu. Kamu, mencoba memperkenalkan diri dengan santun pada ibuku, menguraikan harapan-harapan dan mimpi-mimpi yang sedang kamu rakit. Bahkan, kamu jelaskan detail kelak ketika kamu bekerja, kamu akan seperti apa. Ibuku, mungkin sedang kebingungan di ujung sana. Namun, aku paham benar, dia sedang menilaimu.

Seketika, suara perempuan paruh baya itu menghentikan aktivitas kami.

"Ibu, tidak mengenalmu nak, namun jika kamu menyukai perempuan yang saat ini bersamamu, ibu menitipkannya padamu, jangan sakiti dia, dan bahagiakan dia, selesaikan kuliah kalian, dan datanglah ke rumah"

Pandangan matanya mengunciku yang masih mengaku di buatnya. Malam itu, bagaimana mungkin? Pria itu, kamu. Tanganmu mengunci ujung kepalaku, dan aku? Masih membisu.

"Izinkan aku membahagiakanmu"

Kalimat penenangmu sungguh mematikan, kala itu. Kamu berhasil membuatku makin runtuh di buatnya. Wahai kamu, masih ingatkah akan kalimatmu itu, saat ini? Atau.. sudah tertutup dengan masa sekarang? Ah.. sudahlah.

Narasi Tentang KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang