Embrace The Wind Part 22

7.8K 1K 80
                                        

First of all, aku mau bilang makasih banyak buat smua yang udah nungguin cerita ini. Maaf jika terkadang aku ngk update, it's because sometimes I really got bad mood or tired just for writing. Dan cuma mau bilang klo aku janji ngk bakal telat update lagi haha. Mungkin aku sering ngk update selama seminggu,  jdi aku mau janji buat diriku dan kalian klo selanjutnya aku bakal update seminggu sekali. Di malam minggu atau senin.

Jdi klo misalnya aku ngk update sabtu, pasti aku bakal update hari minggu keesokannya. Pokoknya klo tidak ada halangan yang besar aku pasti update seminggu skali.  Jadi tetap sabar nunggu cerita ini yah hehe.

Once again,  thanks for you all for always waiting. Really love you all~~

***

Ashton berdiri tegap di depan pintu. Ia menatap pintu bercat pudar itu dengan tatapan tak berbaca. Beberapa kali tangannya terangkat hendak mengetuk pintu di depannya atau bahkan membuka pintu itu langsung—mengingat sang empunya tak pernah atau lebih tepatnya selalu lupa mengunci pintu rumahnya—tetapi sekali lagi ia merasa ragu.

Entah keraguan apa yang ia rasakan. Ia hanya belum siap. Rasa kekecewaan yang sempat ia rasakan beberapa hari masih terasa. Perasaan dibohongi dan dikhianati masih membekas di hatinya dan membuatnya menjadi orang bodoh yang seolah tak bisa melakukan apa-apa.

Namun, pagi ini dia sadar. Ia tak bisa terus diam dalam keterpurukannya. Terutama mengabaikan Shania. Jujur, hatinya malah semakin sakit saat ia mengabaikan dan jauh dari roh Shania itu. Ia sudah tahu apa artinya itu. Namun, ia masih pengecut untuk mengakui perasaan baru itu setelah sebelumnya perasaan itu mengkhianatinya dan membuatnya kecewa.

Ia tahu Shania sangat berbeda dengan Hannah. Ia yang salah yang langsung mendeklarasikan perasaannya pada Hannah tanpa ia mengenal Hannah dengan baik. Tanpa mencari tahu atau bahkan tidak memperdulikan kehidupan Hannah sebelumnya. Merasa semua itu tak penting. Namun, sebenarnya sejak awal itulah yang salah. Ia pun salah karena terlalu gegabah dengan perasaannya sendiri.

Ashton kembali menghela napas panjang menatap tangannya hanya bisa melayang di depan pintu itu tanpa mengetuknya.

BRUKK!

Seketika Ashton terlonjat di tempatnya begitu mendengar suara dentuman di dalam sana. Ia pun langsung berhambur masuk setelah mendengar suara itu.

"Shania?!"

Ashton berjalan cepat ke arah kamar tidur milik Hannah. Dan terkejut melihat Shania sudah tertelungkup di lantai tak sadarkan diri.

***

Mata Shania perlahan terbuka. Sekali lagi ia melihat langit-langit ruangan yang sangat putih. Membuatnya sedikit mengingat waktu ia dibawa ke rumah sakit karena alergi alkohol yang dimiliki oleh Hannah. Sehingga Shania sangat tahu bahwa ia kembali berada di rumah sakit setelah menatap langit-langit putih yang familiar itu. Dan anehnya, ia merasa sangat bugar. Tidak lemas seperti saat ia baru sadar setelah keracunan meminum alkohol. Sehingga membuat Shania semakin bingung.

"Tak ada yang salah dengan kesehatannya. Dia sangat baik—"

"Baik? Dia bahkan seolah mati saat pingsan tadi!"

Shania menengokkan kepala ke samping saat ia mendengar percakapan dua orang. Yang mana salah satunya ia ketahui sebagai suara Ashton, pria yang tanpa sadar cukup ia rindukan. Ia melihat punggung lebar pria itu membelakanginya sembari berbicara pada pria berjas putih yang merupakan dokter.

"Maaf, Tuan Rivers. Tapi Nona Hannah benar-benar baik-baik saja. Saya bahkan yakin dia bisa berlari lagi setelah sadar nanti."

Ashton yang masih membelakangi Shania hanya bisa kehilangan kata-katanya. Ia benar-benar panik sekarang dan sang dokter malah mengatakan bahwa Shania sama sekali tak apa-apa layaknya seorang perempuan yang sehat jasmani dan rohani. Ia bahkan bisa mendengar dengan jelas sebelumnya bahwa suara dentuman saat Shania pingsan. Dan itu benar-benar terdengar menakutkan.

Embrace The WindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang