Rabi'ah memperhatikan semut yang sedang beriringan dengan membawa makanan dipunggung mereka. Sangat rapih dan beraturan, tidak ada satu pun yang keluar jalur. Semuanya nampak kompak. Bahkan manusia saja kalah dengan kekompakan semut. Seharusnya kita, manusia makhluk yang memiliki akal bisa mencontoh kekompakan semut dalam segala hal. Meski hewan itu sangat kecil dan banyak tidak diperhatikan kehadirannya tapi mereka dapat mencontohkan satu hal yang kadang dilupakan oleh sekelompok manusia. Karena seringnya manusia itu selalu memikirkan kepentingannya sendiri tanpa peduli dengan orang-orang disekitarnya. Hingga terbentuklah konflik yang membuat pecah belah bahkan sampai terjadi perang saudara. Disitu manusia kalah satu poin dengan seekor semut.
Seharusnya manusia malu, saat melihat kekompakan semut-semut itu.
Jika tidak usil, bukan Rabi'ah namanya. Ia mengganggu aktifitas semut-semut itu dengan meniupnya hingga membuat barisan semut itu acak-acakan. Setelah acak-acakan, semut itu kembali berbaris ketempat semula seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Kegiatan itu membuatnya terkekeh.
Ah dasar Rabi'ah, suka sekali mengacau.
"Rabi'ah! Rabi'ah!"
Zainab memanggil Rabi'ah dari dapur dengan suara yang sedikit meninggi, agar putrinya dapat mendengar panggilannya.
Rabi'ah bangkit dari duduknya, meninggalkan kegiatannya mengacau semut, "iya bu," jawabnya, lalu berlari menuju dapur karena ibunya sekarang sedang ada disana.
"Ada apa bu?" Tanya Rabi'ah saat sudah sampai didapur.
Zainab berbalik menghadap putrinya.
"Kakang sama teteh kan lagi panen ubi dikebun. Kamu kesana kekebun terus ambilin beberapa ubi dan bawa kesini," ujar Zainab lalu ia kembali berkutat dengan kegiatannya.
Ia tengah memotong-motong terong ungu.
"Emang buat apa sih bu?"
Rabi'ah berjalan mendekati ibunya dan berdiri disampingnya. Ia memperhatikan kegiatan ibunya itu dengan seksama.
"Buat bikin kelepon. Sudah sana kamu ambilin ubinya!"
Rabi'ah langsung pergi kekebun yang ada dibelakang rumahnya. Dari kejauhan sudah terlihat Rohmat dan Hani sedang memanen ubi dan kacang. Sedangkan anaknya, Najwa sedang sibuk mengacak-acak ubi yang sudah dipanen dibawah pohon asem.
Ia geleng-geleng kepala menyaksikan keluarga kecil itu.
Mereka memanen ubi sudah hampir sampai ujung jadi dari rumahnya ketempat mereka, jaraknya sedikit jauh.
Saat Rabi'ah tengah berjalan ia melihat sekumpulan angsa, ada anak-anaknya juga. Ide usilnya kembali muncul diotaknya. Ia melirik kanan dan kirinya mencari-cari sebuah ranting. Saat sudah menemukannya, Rabi'ah langsung mengambilnya dan berjalan mendekat pada kumpulan angsa itu.
Perlahan-lahan Rabi'ah menjulurkan ranting itu pada anak-anak angsa, hingga membuatnya jatuh tergelempang. Rabi'ah tertawa terbahak-bahak saat melihat anak angsa itu terjatuh dikubangan air. Namun tiba-tiba tawanya terhenti saat salah seekor angsa dewasa berjalan mendekatinya. Sepertinya, hendak mematuk kakinya. Rabi'ah melangkahkan kakinya mundur sedikit demi sedikit. Ranting yang ada ditangannya sudah lepas dan terjatuh ditanah.
Satu...dua...tiga...
"IBU...!" Teriaknya dengan suara yang sangat lantang.
Rabi'ah lari untuk menghindari angsa itu namun sayangnya angsa itu mengejarnya.
"Teteh! Kakang! Tolong Rabi'ah," jerit Rabi'ah. Ia berusaha lari dengan sekuat tenaga agar terhindar dari angsa itu.
Rohmat dan Hani menoleh keasal suara. Namun sedetik kemudian tawa terdengar begitu menggelegar. Mereka tertawa saat menyaksikan seeokor angsa yang tengah mengejar Rabi'ah.
![](https://img.wattpad.com/cover/141051887-288-k326880.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahabbah (Revisi)
SpirituellesDarimu aku belajar satu hal, yaitu cinta. "Jika Rabi'ah Adawiyah dimasa lalu, menghabiskan hidupnya untuk beribadah kerena kecintaannya kepada Allah. Maka aku, Rabi'ah Adawiyah dimasa sekarang ingin menghabiskan hidupku untuk berbakti kepada kedua o...