Part 17

63 11 0
                                    

Pagi yang sangat cerah, namun tidak secerah hati Rabi'ah. Rasa gelisah semalam masih membekas. Hatinya sangat tidak nyaman, dan otaknya selalu memikirkan ibunya.

"Rabi'ah! Ustadzah Aisyah memanggilmu," ucap Eha.

Rabi'ah menghentikan kegiatannya menumpuk kayu bakar.

"Ada apa?" Tanyanya.

"Entahlah, coba kamu temui saja ustadzah Aisyah." Rabi'ah mengangguk dan menaruh sisa kayu yang ada ditangannya.

Hatinya semakin tidak enak. Seperti ada suatu hal buruk yang akan menimpanya.

"Ada apa ustadzah?" Tanya Rabi'ah saat sudah sampai.

"Ada kakangmu." Tunjuk ustadzah Aisyah pada seorang pria yang berdiri tidak jauh darinya.

Rabi'ah menoleh dan melihat wajah kakaknya yang sangat sendu. Kesedihan terlihat begitu jelas. Ada apa ini? Kenapa dengan kakaknya? Apa yang telah terjadi? Mengapa kakaknya begitu sedih?

Rabi'ah berlari menuju ke kakaknya.

"Kang ada apa?" Tanya Rabi'ah dengan air mata yang berlinang.

Seperti akan ada bencana yang menimpa hidupnya.

"Katakan kang?" Ia mengguncang-guncang tubuh tegap kakaknya.

Sedangkan yang ditanya hanya diam seribu bahasa. Namun dimatanya terpancar sebuah kesedihan yang mendalam.

"Ibu!" Ucap Rohmat lirih.

"Kenapa ibu kang?" Rabi'ah berteriak-teriak didepan Rohmat.

"Ibu pergi." Bahkan Rohmat tidak sanggup untuk mengucapkannya.

Ustadzah Aisyah hanya mampu memperhatikan interaksi kakak beradik itu dari kejauhan. Ia turut berduka atas berita yang dibawa Rohmat.

Rabi'ah membeku dihadapan kakaknya.

Rohmat memeluk tubuh Rabi'ah yang bergetar. Tangis Rabi'ah pecah. Hatinya hancur. Isakan yang keluar dari bibir Rabi'ah terdengar begitu memilukan. Bagai ditenggelamkan ditengah-tengah samudera hingga membuatnya sesak dan sulit bernafas. Semua bencana itu sudah menghancurkan hidup Rabi'ah. Dan menyisakan luka yang begitu perih.

Ternyata rasa gelisah yang dirasakannya semalam adalah pertanda dari semua ini. Mengapa Rabi'ah begitu bodoh? Sehingga ia tidak mampu merasakannya.

Bukan hanya Rabi'ah yang hancur tapi Rohmat pun ikut hancur. Mereka sama-sama terluka dan tidak berdaya.

Rabi'ah melepaskan pelukan Rohmat dan berlari menuju rumahnya. Ia berlari sekuat mungkin. Tidak peduli dengan ilalang yang kenghalangi jalannya. Bahkan duri yang melukai telapak kakinya tidak berarti apa-apa. Kini ibunyalah yang sangat berarti. Darah segar mengalir dari telapak kaki Rabi'ah. Sakit. Tapi, sakit dikakinya tidak melebihi sakit hatinya yang terluka begitu parah karena harus kehilangan seseorang yang paling berharga dalam hidupnya. Berkali-kali Rabi'ah jatuh, berkali-kali pula ia bangun.

Saat sampai didepan rumahnya, Rabi'ah hanya terdiam, menyaksikan beberapa orang silih berganti memasuki rumahnya. Ia tidak mempercaya apa yang terjadi dihadapannya. Apakah ini mimpi? Jika iya tolong bangunkan Rabi'ah dari mimpi buruk ini. Tubuhnya terasa begitu lemah seakan-akan semua tulang yang ada ditubuhnya telah pergi. Setelah itu semuanya gelap. Tubunya ambruk diatas tanah.

***

Rabi'ah membuka matanya. Sedari tadi ia pingsan dan baru sadarkan diri sekarang.

"Minum dulu nong," Hani -istri dari Rohmat, menyodorkan segelas air pada Rabi'ah.

Rabi'ah menolak pemberian air dari Hani.

"Teh! Ibu baik-baik saja kan?" Tanya Rabi'ah dalam tangisnya.

Mahabbah (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang