Part 14

66 8 0
                                        

Matahari sudah mulai tenggelam, menyisakan semburat kejinggaan yang teramat indah. Membuat siapa saja betah berlama-lama memandangnya. Ditambah dengan dedaunan yang bergoyang karena angin sore membuat senja semakin menawan. 

Meski awan nampak menghitam namun tidak mengurangi keindahan senja. Karena dibalik awan hitam itu nampak cahaya memaksa keluar lewat cela-celanya. Pemandangan yang akan membuat setiap mata memandang akan jatuh cinta. Rinai hujan mulai berjatuhan diatas bumi yang nampak rindu akan belaian hujan. Mungkin sudah lama sekali hujan tak menjumpai bumi, hingga tiba saatnya mereka berpadu kasih, saling melepas rindu yang telah lama mengendap dan sekarang, perlahan meluap kepermukaan.

Rabi'ah duduk didepan pondoknya seraya menatap senja yang mulai menghilang. Titik-titik hujan menerpa kulit kaki Rabi'ah, hingga menghasilkan sensai yang amat berbeda. Ini bukan hujan hanya gerimis kecil. Ia mendongakkan kepalanya keatas menatap awan yang hitam. Ada perasaan rindu dihatinya. Rindu yang sama seperti bumi pada hujan. Namun rindu kali ini ialah rindu seorang anak pada ibunya.

Ia tidak bisa menepis rasa rindu ini namun Rabi'ah tidak ingin berlarut-larut dalam rindu yang akan berujung dalam kesedihan. Ingin rasanya ia pulang hanya untuk sekedar memeluk ibunya. Tetapi Rabi'ah tidak akan melakuknnya. Ibunya sudah berjuang untuk mewujudkan keinginannya mondok disini dan sekarang ia harus berjuang menuntut ilmu untuk membuat ibunya bangga.

"Rabi'ah!" Sebuah tepukan dibahunya menyadarkan Rabi'ah dari lamunannya.

Rabi'ah menoleh dan mendapati Nur dibelakangnya.

"Sudah maghrib, ayo kita bersiap-siap keaula," ajak Nur yang hanya dibalas anggukan oleh Rabi'ah. Saat ini ia sedang tidak ingin banyak berbicara. Ia hanya ingin diam dan diam, merasapi setiap rindu dilubuk hatinya.

Nur berlalu masuk kedalam kamar. Tidak heran dengan sikap Rabi'ah yang biasanya berisik tapi saat ini diam. Waktu sebulan mampu membuat Nur mengenal Rabi'ah. Jika sedang seperti itu pasti Rabi'ah sedang merindukan ibunya. Makanya Baik Fatimah ataupun Nur tidak ada yang mengganggunya karena ada saatnya seseorang membutuhkan waktu untuk sendiri.

Rabi'ah bangkit dari duduknya lalu masuk kedalam kamar dan mendapati Fatimah dan Nur yang sudah mengenakan mukena.

"Teh duluan aja yah nanti aku nyusul," ucap Rabi'ah lalu masuk kedalam kamar mandi.

"Beneran nih," Fatimah meninggikan suaranya.

"Iya teh," jawab Rabi'ah tak kalah tinggi.

Mereka berdua pergi meninggalkan Rabi'ah.

Setelah selesai wudhu Rabi'ah langsung bergegas menuju aula. Rasa rindunya kini sudah meluap entah kemana. Wajah cerianya sudah kembali seolah-olah tadi tidak terjadi apa-apa. Ia dengan semangat berjalan dan sesekali bersenandung ria.

Bugh. Ada seseorang yang menabrak bahu Rabi'ah. Refleks saja ia menoleh kebelakang dan Affah ada dibelakangnya dengan sebelah alis yang terangkat. Rabi'ah mengelus bahunya yang sedikit nyeri. Ingin rasanya ia marah.

"Appa!" Sorot mata Affah yang menantang membuat Rabi'ah sedikit merasa enggan.

"Berani lo sama gue," tantang Affah.

Rabi'ah menghela nafas, "aku lagi nggak pengen cari-cari masalah sama kamu," ucapnya lalu berlalu meninggalkan Affah.

Namun ada sebuah tangan yang menarik kerudungnya sampai kepalanya condong kebelakang hingga membuat Rabi'ah kembali menoleh pada Affah.

Rabi'ah merapihkan kerudungnya yang acak-acak karena ulah Affah. Sedangkan Affah menatapnya dengan penuh amarah. Tangannya mengepal hingga menampakkan buku jarinya memutih.

"Lo tuh maen pergi aja kaya kambing," ucap Affah meledak-ledak.

"Apa sih salah aku ke kamu Fah? Sampe segitu bencinya kamu ke aku." Rabi'ah berusaha memelankan suaranyan. Ia tidak ingin disulut kemarahan seperti Affah.

Affah menghentak-hentakan kakinya lalu berjalan meninggalkan Rabi'ah dengan kepala yang penuh dengan tanda tanya. Apa yang pernah ia perbuat pada Affah?? Perasaan ia tidak pernah berbuat apa-apa. Lalu kenapa Affah membencinya??

Dengan sikap Affah yang semakin menjadi-jadi seperti ini membuat Rabi'ah terjebak dalam kebingungan yang semakin tak karuan. Apa yang sebenarnya Affah inginkan darinya??

Dari pada ia semakin pusing memikirkannya lebih baik Rabi'ah bergegas keaula sebelum sholatnya dimulai.

***

"Kamu kenapa??"

Nur duduk disamping Rabi'ah yang tengah bersilah dengan tangan yang menopang dagunya.

Semenjak pertengkarannya dengan Affah moodnya memburuk.

"Kangen sama ibu?" Tanya Nur lagi.

Rabi'ah menghela nafas dan menghembuskannya dengan kasar, "aku punya salah apa sih sama si Affah? Sampe segitunya dia ngebenci aku." Ia mengeluarkan semua yang mengganggu pikirannya. Pertanyaan itu yang selalu mengingan diotak Rabi'ah.

"Kamu kenapa lagi memang sama si Affah??"

"Tadi dia nabrak aku dari belakang terus bentak-bentak aku, maunya dia apa sih sebenarnya??" Tangan yang tadinya menopang dagunya kini sudah terlipat didada.

Kekesalan Rabi'ah kini terlihat jelas diwajahnya. Siapa sih yang tidak kesal?? Saat ada seseorang yang membenci kita tanpa alasan yang jelas. Apa lagi saat kebenciannya begitu kentara sekali.

"Rabi'ah! Tidak semua orang suka sama kita dan tidak semua orang membenci kita. Biarkan saja orang yang membenci kita toh itu hak mereka," ucapa Nur berusaha menenangkan Rabi'ah yang sudah mulai terlihat emosi.

Nur dapat melihat dengan jelas bahwa Rabi'ah saat ini sedang gusar menahan amarah agar tidak meledek-ledak.

"Tapi teh, aku nggak tahu apa yang membuat Affah sangat membenciku?? Aku punya salah apa sama dia?? Setidaknya dia ngomong gitu ke aku, kesalahan apa yang pernah aku perbuat kedia. Bukan begini, dateng-dateng malah marah-marah," ucap Rabi'ah berapi-api. Rasa-rasanya selama ini ia selalu diam saat Affah memperlakukannya dengan tidak baik namun kali ini rasanya sudah keterlaluan.

Nur mengelus pelan bahu Rabi'ah berusaha menenangkannya.

"Apa sebegitu buruknyakah aku teh? Sampai si Affah sangat benci sama aku," isakan kecil keluar dari mulut Rabi'ah. Ia menekuk kedua kakinya lalu menenggelamkan wajahnya pada kedua lututnya dan menangis disana.

Kalau sudah seperti ini, Nur menjadi bingung ia harus berbuat apa? Ia hanya mampu mengusap bahu Rabi'ah. Mau menasehati, namun sepertinya waktunya tidak tepat.

"Ada apa ini?" Tanya Fatimah yang baru datang.

Nur mengucap Alhamdulillah dalam hati karena kedatangan Fatimah. Setidaknya jika ada Fatimah ia tidak sebingung sebelumnya.

Akhirnya Nur menceritakan semua kejadian yang dialami Rabi'ah. Sedangkan Rabi'ah masih setia dengan tangisannya.

"Rabi'ah! Jangan fokuskan diri pada orang-orang yang membenci kita namun fokuskan diri kita pada orang-orang yang menyayangi kita," ucap Fatimah saat sudah duduk dihadapan Rabi'ah.

"Seseorang yang membenci kita bukan hanya karena keburukan kita namun kadang ada orang yang membenci kita karena mereka iri kepada kita. Dan selama aku berteman denganmu tidak ada keburukan yang aku temukan." Fatimah memang selalu bisa menengkan Rabi'ah dengan kata-katanya itu.

Rabi'ah mendongakkan kepalanya, "benarkah??"

Fatimah dan Nur menangguk.

"Jadi kamu nggak usah nangis, apa lagi cuman gara-gara si Affah," tambah Fatimah.

Rabi'ah mengangguk, apa yang diucapkan Fatimah benar. Seharusnya ia tidak usah selebay ini dan nangis-nangis hanya karena sikap Affah padanya.

***

Mahabbah (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang